Horor bagi Hollywood

21, July, 2003

Begitu konsumen memegang kendali teknologi baru ini, Hollywood akan kesulitan merebutnya kembali.

SARAH Michelle Gellar tak perlu pontang-panting pulang hanya untuk menyaksikan program televisi kesayangannya. “Meski jadwal syutingku sangat ketat, tak berarti aku harus kehilangan program favoritku,” ujar pemeran utama film seri Buffy the Vampire Slayer ini.

Sarah tak perlu repot mengontak stasiun TV untuk meminjam rekaman tayangan itu. Ia hanya mengandalkan perekam video TiVo yang sebelumnya sudah dipasang dengan fasilitas Wishlist untuk merekam acara itu. Sebelum menikmatinya, ia juga bisa mengedit hasil rekamannya–misalnya dengan menyingkirkan iklan-iklan.

Namun, yang membuat aktris berusia 25 tahun kelahiran New York ini terpesona oleh TiVo adalah kemampuannya merekam film-film video sepanjang 80 jam. Setidaknya 30-35 judul film DVD (digital video disc) bisa disalin ke dalam TiVo, dan semua judul akan muncul dalam daftar di layar TV. “Jadi, tidak perlu lagi repot memasukkan atau mengeluarkan DVD ke player,” ujarnya.

Tahan dulu rasa takjub Anda. Selain TiVo–kini baru beredar di Amerika Serikat dan Inggris–juga ada Replay TV. Menurut The New York Times, TiVo sudah berhasil menggaet lebih dari 1,5 juta pembeli, sementara Replay baru meraih setengahnya.

Namun, di luar dugaan, ada pihak yang merasa terancam: Hollywood. Mengapa?

Perkembangan mutakhir jagat teknologi informasi bergulir amat cepat hingga tak bisa diantisipasi oleh kalangan industri seperti pusat industri film di Los Angeles itu. Kemudahan dari
sisi konsumen ternyata bisa mengundang kesulitan dari sisi produsen. Menurut Heather Green dalam Business Week, setidaknya ada empat terobosan teknologi yang membuat konsumen semakin mudah melakukan download, menyalin, dan berbagi film di internet: standar kompresi MPEG (moving picture experts group) 4, teknik penyimpan, peranti DVD dan perekam video pribadi, dan teknologi nirkabel kecepatan tinggi Wi-Fi (wireless fidelity).

Dari situlah ancaman berawal. Standar kompresi MPEG-4 mampu menyusutkan file audio dan video menjadi tiga kali lebih kecil. Program ini juga akan dimasukkan ke komputer, stereo, pemutar CD, dan DVD. “Sebuah MP3 video,” ujar analis Lou Latham dari Gartner Inc. Pada era 1990-an, MP3 berhasil membuat industri musik kelabakan karena mampu menyusutkan file audio menjadi sangat kecil sehingga bisa menyimpan hingga 250 lagu dalam satu keping CD dan bisa dibagi-bagi hanya dengan koneksi dial-up melalui fasilitas di situs-situs seperti Napster.

Jika film-film DVD dapat disusutkan ukurannya menggunakan standar MPEG-4, tentu setiap orang dapat pula membagi-bagikannya via internet–apalagi dengan menggunakan koneksi Wi-Fi. Penyimpanan yang makin murah dan kapasitas yang makin besar juga mendukung gagasan ini. Jangan lupa, TiVo bisa men-download-nya ke pesawat TV, dan konsumen bisa menikmati film sekualitas DVD tanpa harus punya pemutar DVD.

Untuk tahap awal, setidaknya tiga judul film DVD bisa disimpan dalam satu cakram DVD. Diperkirakan, perkembangan MPEG-4 berikutnya akan mampu menyusutkan file lebih kecil lagi, dan itu berarti jumlah film yang bisa disimpan dalam keping DVD menjadi semakin banyak pula.

Berbeda dengan pendahulunya, MPEG-1, yang hanya bisa jalan di CD-ROM, dan MPEG-2 pada pemutar DVD dan TV digital, MPEG-4 lebih luwes. Berbasiskan format file QuickTime, standar baru ini bisa dijalankan secara lebih luas (scalable delivery), mulai dari telepon seluler hingga TV satelit.

Itulah yang dikhawatirkan oleh Hollywood. Film-film terbaru dengan kualitas tinggi bisa dengan mudah disalin, disebarluaskan di internet, ataupun dijual dalam format DVD dengan beberapa buah judul sekaligus. Konflik kepentingan multidimensi pun akan terjadi: antara perusahaan teknologi, konsumen, dan Hollywood.

Menurut Heather, itulah kisah horor paling nyata bagi Hollywood. Karenanya, pusat perfilman ini harus bergegas mencari solusi yang dapat menyeimbangkan hak konsumen dan hak cipta sehingga tak ada yang dirugikan. “Begitu konsumen memegang kendali teknologi baru ini, Hollywood akan kesulitan merebutnya kembali,” ujarnya. Dan Sarah Michelle Gellar, boleh jadi, akan menjadi salah satu korbannya.

Budi Putra

TEMPO Edisi 030330-004/Hal. 74      Rubrik Teknologi Informasi

Leave a comment