Menimbang Anonimitas Virtual

10, April, 2006

Identitas adalah suatu ciri penting dalam berinteraksi. Lalu bagaimana dengan keberadaan komunitas yang anonim di era cyberspace dewasa ini?

Bagaimana halnya jika kita berkomunikasi dengan seseorang yang tidak pernah kita jumpai, didengar suaranya, dilihat wajahnya, atau dirasakan kehadirannya secara kasatmata?

Persoalan non-identitas semacam ini mulai mengapung dan diperdebatkan menyusul makin meluasnya penggunaan Internet.

Ada jutaan orang yang tiap menit berselancar di Internet. Selain sekadar mencari dan menggali informasi di perpustakaan terbesar di muka bumi itu, mereka juga mengirimkan pesan-pesan kepada para pengguna Internet lain, yang mungkin sedang berada di belahan dunia yang lain.

Selain ada kehendak dari seseorang untuk menyamarkan identitasnya di Internet, fasilitas-fasilitas di Internet pun memungkinkan orang untuk melakukan itu.

Tapi masalahnya tidak terletak pada fasilitas atau perantinya. Yang paling krusial adalah bagaimana kita menghadapi kelompok para non-identitas dari komunitas anonimitas virtual (virtual anonymity) ini?

Mereka tersebar di mana-mana: di komunitas forum diskusi, mailing-list, blog, chatting, ataupun newsgroup.

Ini memang persoalan paradigma karena sebuah kebudayaan baru sudah terbentang di depan kita: kebudayaan Internet (cyberculture).

Cyberspace memungkinkan pemakainya menggunakan identitas yang diingininya. Seseorang bisa dengan mudah mengasumsikan dirinya sebagai laki-laki atau perempuan (ingat ungkapan: “dalam cyberspace tak ada yang tahu bahwa Anda adalah seekor anjing”).

Ada beberapa faktor yang mendorong orang untuk untuk memilih anonim. Pertama, sebagai ekspresi kebebasan penuh dalam mengungkapkan pendapat dan pikiran. Hal itu disebabkan oleh heterogenitas para audiens Internet dengan keragaman budaya, ekonomi, dan politik.

Kedua, untuk menjaga obyektivitas. Seseorang memilih menyembunyikan identitas aslinya ketika menginginkan apa yang disampaikannya benar-benar dilihat secara obyektif.

Karena itu, Internet semestinya tidak dilihat sekadar sebagai suatu jaringan komputer dengan peranti dan pernik-perniknya semata, tapi lebih kepada sebuah pengalaman nyata yang ditransformasikan secara virtual. [G!]

Koran Tempo, 9 April 2006 | e-culture

4 Responses to “Menimbang Anonimitas Virtual”

  1. rendy Says:

    kebanyakan orang yang anonim di internet itu ciken…

    mari kita jadikan internet sebagai perantara dari kegiatan sehari-hari kita didunia nyata…

  2. gobzip Says:

    Aku suka dengan:

    Cyberspace memungkinkan pemakainya menggunakan
    identitas yang diingininya.

    Daripada menolak

    sebuah kebudayaan baru sudah terbentang di depan
    kita: kebudayaan Internet (cyberculture)

    yang pasti akan/sedang muncul


    lebih baik mempersiapkan diri secara bijak untuk menghadapinya
    .

  3. calupict Says:

    Hmm gw lebih menghargai orang yang emang mau anonim di net daripada bohong tentang identitasnya.

  4. Iqbal Says:

    +1 untuk calupict. Saya setuju.

    Anonimitas tidak selamanya buruk. Bahkan terkadang, anonimitas adalah suatu pilihan yang menarik, misalnya bagi anak-anak kecil yang ingin menjaga diri dari kejahatan orang-orang yang lebih dewasa.

    Saya rasa tidak ada masalah sama sekali dengan anonimitas. Yang justru menjadi masalah besar adalah saat seseorang menggunakan identitas orang lain ataupun identitas palsu dengan niat yang tidak baik.

    Jadi, daripada menggunakan identitas palsu, lebih baik anonim. Tentunya, penggunaan identitas asli adalah jauh lebih baik.


Leave a comment