You’ve Got Mail, Lalu Lupakan
17, January, 2005
APA yang Anda lakukan saat mengecek surat elektronik (e-mail) di Inbox Anda? Apakah Anda akan menyortirnya sekilas, membaca beberapa pesan yang dianggap penting?
Apakah segepok e-mailtersebut langsung Anda balas? Atau membiarkannya dulu, lalu memilih waktu yang tepat untuk membalasnya — syukur-syukur tidak kelupaan nantinya?
Apa pun yang Anda pilih untuk dilakukan terhadap e-mailuntuk Anda, satu hal yang harus diingat adalah setiap e-mailitu penting. Tidak ada orang yang setiap hari kerjanya hanya mengirimkan e-mailiseng atau membalas e-mail ngawur. Pasti ada pesan di dalamnya, sekecil apa pun makna atau signifikansinnya.
Apa yang Anda pikirkan ketika e-mailyang Anda kirimkan tidak dibalas sehari, dua hari atau berhari-hari? Anda pasti akan bertanya-tanya atau berpikir jangan-jangan pesan digital tersebut tidak terkirim dengan baik.
Mengaktifkan fasilitas “tanda terima” e-mailyang sudah dibaca boleh jadi membantu, tapi benarkah e-mail yang Anda kirim sekadar untuk dibaca dan tak perlu dibalas?
Dari pengalaman saya, sejawat-sejawat yang berasal dari kalangan profesional, memiliki kebiasaan yang bagus dalam berkomunikasi e-mail. Mereka terbiasa membalas e-maildengan cepat.
Namun, jika ada data atau bahan yang harus dicari terlebih dahulu, mereka tetap mengirim e-mail singkat yang berisi pesan bahwa akan ada e-mail lanjutan yang lebih lengkap besok harinya.
Jelas ini menunjukkan cita-rasa dan apresiasi yang tinggi terhadap informasi.
Tapi, celakanya, tidak sedikit pula orang yang tak begitu serius dalam melakukan kontak e-mail. Kelompok ini termasuk yang malas membuka e-mail, apalagi untuk membalasnya.
Saya bahkan belum berbicara soal penggunaan e-maildi telepon seluler ataupun PDA.
Seorang rekan praktisi telekomunikasi mengatakan, secara umum penggunaan e-mail oleh masyarakat Indonesia belum optimal.
Lain halnya dengan komunitas tertentu seperti kalangan ekspatriat atau profesional. Para ekspatriat misalnya, cenderung suka menggunakan e-mailuntuk berkoordinasi karena alasan jarak dan waktu. “Jadi tak harus ketemu dan rapat melulu.”
Fenomena itu cukup menjelaskan mengapa layanan e-mailberbasis ponsel atau PDA tak begitu riuh responnya di Indonesia. Layanan pesan singkat (SMS) seolah sudah dianggap cukup, sekalipun dengan keterbatasan yang dimilikinya.
Hal itu bisa dilihat dari kenyataan sehari-hari: sedikit sekali para pengguna layanan seluler yang komplain dengan layanan e-mailyang terdapat di telepon genggam. Kenapa? Karena memang digunakan sama sekali!
Jika fasilitas e-mailyang ada di ponsel atau PDA saja belum digunakan dengan optimal, apalah artinya teknologi push-mail yang ditawarkan oleh BlackBerry?
Apalah artinya keandalan e-mail dalam sistem ini yang mampu “mengejar” penerimanya, jika e-mailyang saban hari diterima saja tidak diperlakukan dengan tepat?
Jadi, tampaknya di Indonesia, bukanlah persoalan bagaimana e-mailbisa secepatnya sampai ke tangan penerimanya — seperti yang ingin diwujudkan BlackBerry — tapi bagaimana meyakinkan para pengguna betapa e-mailadalah wadah berisi informasi yang bernilai tinggi.
Jika persepsi publik terhadap surat elektronik sudah memadai, barulah perbincangan tentang layanan e-mailseketika (real-time) terasa relevan dan signifikan.
Sebab, kalau tidak, gegap gempita peluncuran dan penggunaan BlackBerry di Indonesia akan segera berlalu begitu saja. Secepat e-mailBlackBerry masuk ke genggaman pemiliknya. (ec-kt.230105)
Techies tanpa Gelar Akademis
17, January, 2005
MASIH segar dalam ingatan Celeb Sima betapa murkanya orang-orang di sekelilingnya begitu tahu ia berhenti dari bangku SMU dan menerima sebuah pekerjaan pada saat high-tech boom.
Bahkan kepala sekolahnya pun sempat mengingatkan dia betapa jalan yang ia tempuh itu akan sia-sia. Tapi sekarang, sang kepala sekolah boleh gigit jari.
Punya gaji enam digit sebagai CTO (chief technology officer) sebuah perusahaan keamanan online, Sima adalah salah seorang dari sekelompok techies muda yang mendulang sukses besar tanpa gelar akademis pasca maraknya bisnis teknologi informasi (TI) pada paruh akhir 1990-an.
Soal berapa banyak orang yang berhasil dan gagal dalam manuver semacam ini tentulah mustahil untuk diungkap. Tapi kisah nyata ini tetaplah menjadi inspirasi tak terperi: Sima, pemuda berusia 24 tahun yang kini kaya-raya, bahkan merencanakan akan pensiun pada usia 30 tahun!
“Saya sempat marah ketika mendengar ada orang yang mengatakan kamu harus punya gelar akademis untuk mendapatkan gaji tertentu,” ujarnya seperti yang ditulis CNN.com bulan lalu. “Itu tidak betul.”
Sima berusia 16 tahun ketika ia meninggalkan bangku sekolahnya, karena ia merasa sekolahnya tak mampu menyediakan komputer yang dinginkannya.
Lalu ia bekerja sebagai tenaga servis komputer, perlahan mendapat promosi menjadi administratur keamanan sebuah bank online dan kemudian mendirikan sebuah perusahaan pada 2000.
Dengan segala pengalaman yang diperolehnya, ia tak pernah menyesal telah meninggalkan bangku sekolahnya. Bahkan hingga saat ini, ia sering menemukan para pencari kerja yang memiliki ijazah Ph.D dalam ilmu komputer tapi tidak tahu apa yang harus dikerjakan.
“Buku-buku ilmu pengetahuan komputer kadang memang membantu dunia TI, tapi tidak mencerminkan pengetahuan dunia nyata,” ujarnya. Kemajuan teknologi sangat cepat dan tak mungkin teriringi oleh buku-buku komputer akademis.
“Ada ribuan bahkan jutaan orang yang memiliki kemampuan TI tanpa memiliki gelar akademis. Kami tumbuh bersama komputer,” ujar Sima.
Bill Gates dan Michael Dell menjadi miliarder tanpa menamatkan kuliahnya.
Tapi Sima tidak menyarankan para techies belia berhenti sekolah tanpa alasan yang kuat.
Kisah Sima, dan tentu saja Gates dan Dell, mengirimkan satu pesan yang amat gamblang: bangku sekolah dan universitas bukanlah segala-galanya.
Dunia komputer dan TI lebih membutuhkan orang yang cepat dan tepat dalam mengambil keputusan, imajinatif, kreatif dan inovatif.
Apalagi, ketika dunia TI sudah harus bertarung dalam kompetisi bisnis, keahlian dan ketrampilan akademis dalam ilmu komputer akan menjadi salah satu aspek saja.
Aspek-aspek lain yang dibutuhkan adalah kemampuan kalkulasi bisnis, menguasai pendekatan sosiologi, komunikasi, psikologi, antropologi, statistik, seni dan lain sebagainya.
Kepekaan, visi dan cita-rasa juga sangat dibutuhkan ketika bersaing dan bertanding dalam kompetisi. Bukankah hal-hal semacam itu tidak didapatkan di bangku sekolah dan kuliah?
Mengingat tidak semua orang akan seberuntung Sima, Gates maupun Dell, bagaimanapun, kemampuan akademis tetap diperlukan. Para ahli yang andal di setiap bidang TI tentu harus terus-menerus disiapkan.
Namun, seperti yang sering disarankan Gates dan Dell, sambil sekolah dan kuliah, cobalah untuk tetap mengasah kemampuan dan kepekaan.
Jangan hanya terbenam di perpustakaan dan tersandera di laboratorium saja. Bacalah buku-buku populer, novel, simak suratkabar dan majalah, dengarkanlah musik dan tontonlah film. Ini berguna untuk mengasah imajinasi dan kreativitas.
Lihatlah dunia sekitar. Amatilah masyarakat yang menggunakan teknologi. Berbicaralah dengan orang-orang yang bekerja di bidang ini. Dan bersiaplah jadi techies yang akan mengguncang dunia! (ec-kt. 090105)
Merancang Cyber Campus
17, January, 2005
Teknologi informasi adalah kata kunci paling penting dalam permulaan abad ke-21. Dirintis sejak dua dekade terakhir di pengujung abad ke-20, revolusi teknologi informasi dan telekomunikasi telah mengubah wajah dunia menjadi sebuah panorama yang unik: secara mendasar mengubah persepsi kita mengenai jarak dan waktu.
Tentulah yang berubah bukan hanya persepsi, tapi perubahan paradigma dan perilaku.
Seperti halnya negara-negara lain, perkembangan Internet juga mengguncang Indonesia. Istilah information technology (IT) atau teknologi informasi (TI), telematika, ICT (information and computing technology) , mulai menjadi pembicaraan dan menjadi pemicu implementasinya di bidang masing-masing.
Selain dunia bisnis, dunia pendidikan dan penelitian di Indonesia termasuk yang paling cepat mengadopsi TI. Kampus-kampus perguruan tinggi khususnya, berlomba-lomba masuk ke TI, mencoba mengambil manfaat dari teknologi ini.
Namun, suasana euforia tak bisa dielakkan dalam fenomena ini. Meski cukup banyak kampus yang berhasil mengimplementasikan TI dengan baik, tidak sedikit pula yang tidak berkembang–kalau tidak dikatakan gagal.
Masalahnya, umumnya mereka menganggap penerapan TI sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan tak berkait dengan bidang lainnya.
Yang sering terjadi, mereka langsung membuat situs web atau portal, membuat jaringan, membuat laboratorium komputer dan warnet murah meriah di kampus, namun mengabaikan proses internalnya, sama sekali tak mengubah paradigma berpikir, tak menyiapkan SDM yang andal dan tak berkoordinasi dengan semua unit dan kalangan yang terkait dalam kehidupan kampus.
Akibatnya, proyek-proyek serabutan semacam itu kerap kali tak bertahan lama, mahasiswa dan dosen tak merasakan manfaatnya secara maksimal. Komputer dan internetnya memang masih ada di situ, tetapi tak jelas bagaimana semua itu akan dikembangkan di masa depan.
Karenanya, beruntunglah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Seiring dengan perubahan IAIN menjadi UIN, pembangunan fisik (gedung kampus baru) yang segera dilaksanakan atas loan agreement dari Islamic Development Bank (IDB), konsep pengembangan TI-nya juga sudah disiapkan sejak awal.
Serangkaian diskusi dan workshop yang sudah dilakukan telah melahirkan Rencana Induk Pengembangan Teknologi Informasi (RIPTI), sebagai sebuah road map atau strategy map menuju cyber campus, universitas riset atau apa pun namanya.
Berbicara di depan peserta workshop pekan lalu, saya menekankan ada tiga komponen penting yang harus dibangun dalam menuju cyber campus, yakni brainware, hardware, dan software. Implementasinya digambarkan oleh Rektor IAIN Sunan Kalijaga Prof Dr Amin Abdullah sebagai “imajinasi, kreativitas, dan inovasi” yang sangat dibutuhkan dalam menerapkan TI di kampus.
Dalam RIPTI UIN Sunan Kalijaga digambarkan, terdapat lima pilar utama yang akan dijabarkan menjadi program-program kerja, yaitu teknologi untuk pendidikan, layanan berbasis Internet, jaringan komputer dan komunikasi data, layanan terpusat serta kepemimpinan, serta koordinasi dan tata kelola teknologi informasi.
Tidaklah berlebihan kalau dikatakan, UIN Yogyakarta telah berada pada jalur yang benar: menyiapkan SDM dan proses internalnya terlebih dulu sambil secara simultan mematangkan rencana pengembangannya ke depan. Brainware-nya dulu, barulah hardware dan software-nya. Sebuah model dalam merancang cyber campus yang patut ditiru. (ec-kt.010105)