Situs ini adalah wajah manusia dalam sejarah.

TIBA-TIBA ia menghilang. Pesan singkat yang ia kirim empat hari setelah genderang perang ditabuh pasukan Amerika Serikat adalah jejak online-nya yang terakhir. Lewat website log atau blog yang beralamat di dear_raed.blogspot.com, pemuda berusia 29 tahun yang tinggal di pinggiran Kota Bagdad itu membagikan kesaksiannya tentang jam-jam pertama ketika bom mulai melumatkan gedung-gedung di ibu kota Irak.

“Saya tak bisa menahan air mata. Puluhan bom dan peluru kendali meluluhlantakkan gedung-gedung, termasuk satu gedung favorit saya. Televisi Irak tidak berkomentar apa pun, tidak menayangkan apa pun,” tulis Salam Pax, nama samaran pemuda itu. Sehari sebelumnya, ia mencatat, “Tak ada gelombang massa yang menyambut kedatangan pasukan Amerika. Mereka hanya berdiam di tempat tinggal masing-masing sambil berharap tak ada bom yang jatuh di atap rumahnya.”

Pertama kali online di situs blog itu pada September tahun lalu hingga kemudian hilang dari peredaran ketika perang Irak pecah, keberadaan Pax–sebagian besar penggemar blog yakin ia benar-benar ada dan memang tinggal di Bagdad– memancing rasa ingin tahu. Setidaknya 40 media di dunia menuliskan nasibnya. Situsnya pun mengantongi hampir seratus ribu hit. “Situs ini adalah wajah manusia dalam sejarah,” ujar Rebecca Blood, pengarang The Weblog Handbook.

Pax hilang bersama situsnya yang tak bisa diakses lagi. Lelaki yang menguasai bahasa Inggris, Jerman, dan Arab itu tak hanya kehilangan akses Internet akibat perang, tapi juga kehilangan server tempat penyimpan gambar-gambar untuk situsnya. Taylor Suchan dari Industrial Death Rock, perusahaan hosting buat gambar-gambar situs Pax, memang sengaja menutupnya. “Situs Pax benar-benar membunuh bandwidth saya,” ujarnya.

Buku harian digital pemuda Irak yang sangat populer itu merupakan fenomena terbaru blog, yang dimulai pada 1999 dan kini pengguna aktifnya tercatat lebih dari 500 ribu orang. Semua itu dimungkinkan oleh adanya peranti Blogger (www.blogger.com) yang sepaket dengan layanan desain dan hosting gratis (www.blogspot.com). Dijalankan oleh Pyra Labs, perusahaan kecil di San Francisco, California–yang kini sudah diakuisisi oleh Google, pengelola mesin pencari terkemuka–peranti web ini dirancang untuk membantu siapa saja yang ingin berbagi pemikiran, pengalaman, foto, dan gambar di Internet.

Berbeda dengan situs web biasa yang membutuhkan keahlian khusus dalam mengelolanya–setidaknya harus mengerti kode-kode HTML (hypertext markup language), teknik membuat hyperlink, dan cara pengiriman data (uploading) via FTP (file transfer protocol)–seseorang hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk mulai online dengan blog. Dengan Blogger, siapa saja bisa memperbarui dan mengedit isi situs hanya dengan sekali klik.

Tak ubahnya seperti Perang Teluk 1991 yang mempopulerkan TV kabel, perang Irak saat ini ternyata membawa berkah tersendiri bagi blog, yang makin luas diminati. Ternyata penggemarnya bukan sekadar komunitas antiperang seperti Pax, tapi juga para serdadu di medan tempur yang mencoba memanfaatkan blog untuk berkomunikasi dengan keluarga dan sejawatnya. Tak aneh, blog perang bermunculan, seperti Live From Kuwait: A Civilian War Diary (www. zaydoun. blogspot. com) dan L.T. Smash: Live from the Sandbox (www.lt-smash.us), buah tangan para serdadu Amerika
di kawasan Teluk.

Para wartawan pun tak mau ketinggalan. Wartawan BBC Stuart Hughes dan koresponden CNN Kevin Sites mengirimkan liputan perangnya lewat layanan ini. “Blog memang tampak lebih nyata bagi pengunjungnya dibandingkan dengan situs berita tradisional,” ujar Neil Thurman, Direktur e-Publishing Course, London’s City University.

Berbeda dengan situs berita yang punya misi dan visi editorial tertentu, ideologi dalam komunitas blog hanya satu: solidaritas kemanusiaan, tak peduli dengan agama atau etnis. Buktinya, salahsatu blogger yang merasa sangat kehilangan Pax adalah Ohad Barzilay, pemuda asal Israel. “Saya jauh dari perang, tapi saya tahu perang itu seperti apa,” ujarnya lirih.

Budi Putra

TEMPO Edisi 030413-006/Hal. 68      Rubrik Teknologi Informasi

Teperdaya Pesan Palsu

8, June, 2003

Berita palsu yang bikin geger menunjukkan kepercayaan makin tinggi terhadap Internet.

KEPANIKAN melanda Hong Kong. Di tengah sorotan dunia akibat terinfeksinya 700 orang warga kota–16 orang di antaranya meninggal–oleh virus severe acute respiratory syndrome (SARS), tiba-tiba muncul berita menggemparkan di Mingpao.com, situs portal surat kabar terkemuka di sana. Isinya, pemerintah setempat akan mengumumkan Hong Kong sebagai tempat yang sudah positif terinfeksi SARS.

Berita cepat menyebar di kota berpenduduk tujuh juta jiwa itu. Halaman web Mingpao.com dikirimkan ke mana-mana melalui e-mail dan juga tersebar lewat kabar singkat via short message service (SMS). Warga kota pun menyerbu toko-toko swalayan untuk memborong kebutuhan sehari-hari. Dolar Hong Kong sempat jatuh dan bursa saham ikut terkoreksi.

Padahal semua itu karena berita palsu. Dengan cara meniru format portal Mingpao.com, seorang pecandu Internet berusia 14 tahun menulis sendiri berita tentang SARS, lalu memuat “berita eksklusif” itu di situs pribadinya. Dengan gaya penulisan yang gesit, ia berhasil menciptakan kesan beritanya memang “diambil” dari situs resmi. Orang yang sempat melongok ke situs itu percaya bercampur kaget, mengopinya, lalu mengirimkannya kepada para sejawat dan keluarga.

Untunglah pemerintah setempat cepat tanggap. Bekerja sama dengan semua operator telepon seluler setempat, mereka mengirimkan pesan resmi membantah berita itu. “Kami ingin pesan ini terkirim secepat mungkin untuk menghindari keresahan banyak orang,” ujar Terence Yu, juru bicara Biro Perdagangan, Informasi, dan Teknologi.

“Pengumuman via SMS itu sangat berguna, tapi sudah terlambat untuk menenangkan keresahan publik,” kata Ada Ko, pekerja kantor berusia 47 tahun. Uniknya, tidak sedikit pula warga yang kaget. “Sebuah pesan yang ngawur,” ujar Forrest Kan, mahasiswa berusia 20 tahun, yang sebelumnya tak mengetahui berita palsu itu.

Kasus berita bohong di Internet–sering disebut hoax–yang menimpa Hong Kong itu adalah fenomena mutakhir betapa mudahnya orang teperdaya dengan pesan di dunia maya. Padahal remaja yang kemudian ditangkap itu mengaku hanya iseng. Ia sendiri kaget mengapa orang percaya karena pesan itu ia poskan persis 1 April dalam rangka April mop. “Saya sedang belajar menulis berita, tapi kok begini jadinya,” ujarnya kepada polisi.

Kasus serupa terjadi di Seoul, Korea Selatan, empat hari berikutnya. Kali ini yang menjadi target adalah situs CNN.com. Berita palsu yang dibuat tidak main-main: bos Microsoft, Bill Gates, tewas ditembak dalam sebuah acara kemanusiaan di Los Angeles. Celakanya, para wartawan Korea percaya. Tiga televisi Negeri Ginseng itu, MBC, YTN, dan SBS, malah menyiarkannya secara nasional. Akibatnya, bursa efek Seoul terkoreksi sangat tajam, dengan nilai kerugian lebih dari US$ 3 miliar.

Padahal kasus Korea bukanlah hoax murni. Sebab, halaman tiruan CNN.com soal kematian Gates itu sengaja dibuat dan ditampilkan di situs online game CG-Rom sebagai bagian dari game mereka. Padahal lagi, menurut BBC, berita bohong seputar kematian Gates sudah berjibun jumlahnya.

Dalam dua tahun terakhir, kasus hoax memang sering terjadi: dari pesan berantai, tipuan untuk menyebarkan virus, kisah menyentuh untuk mengumpulkan dana, tawaran hadiah dan diskon, mitos soal kesehatan, hingga berita kematian tokoh tertentu.

Menurut pakar multimedia Universitas Gadjah Mada, Roy Suryo, kasus berita-berita palsu yang bikin geger itu sebenarnya menunjukkan kepercayaan yang makin tinggi terhadap Internet. “Inilah yang secara sengaja akan dirusak oleh para hoaxer,” katanya. Kasus semacam ini memang tidak menimbulkan kerusakan teknis karena si pelaku sama sekali tidak merusak situs atau server apa pun. Tapi, “Kerusakan yang terjadi adalah kerusakan sosial,” ujarnya.

Pelakunya memang ada yang berprofesi khusus mengirim berita palsu, tapi ada juga yang sekadar iseng. Karena itu, menurut dia, daya kritis pengguna Internet harus ditingkatkan. Pengguna harus membiasakan diri mengecek ulang informasi strategis dan sensitif.

Budi Putra

TEMPO Edisi 030420-007/Hal. 88      Rubrik Teknologi Informasi