Solusinya: Tanda Tangan Digital

10, September, 2002

“Internet ternyata bodoh juga,” gerutu seorang netter ketika mengisi formulir pendaftaran sebuah layanan online. “Ketika saya iseng memasukkan nama anjing saya, tapi ia tetap menanyakan tanggal lahir saya!”

Ia tentu sedang bercanda. Tapi urusan mengisi data-data pribadi hingga username (nama pengguna) atau ID dan password (kata kunci) setiap kali mendaftar pada sejumlah layanan online memang kadang-kadang membosankan, tapi tetap harus dilakukan. Setidaknya seorang calon pelanggan diwajibkan mengisi ID, password dan alamat e-mail, sedangkan data yang lain boleh tidak diisi (optional).

Setiap layanan online, baik itu gratis atau dipungut bayaran, selalu memiliki sejumlah persyaratan di antaranya meminta data pribadi calon pengguna. Hal ini erat kaitannya dengan proses otorisasi, meskipun juga ada “agenda tersembunyi” perusahaan penyedia layanan yang ingin mendapatkan database para konsumennya sebagai target promosi berikutnya.

Soal otorisasi memang merupakan salah satu perbincangan hangat di kalangan komunitas cyber dewasa ini karena menyangkut aspek keamanan dan kenyamanan berinternet juga. Contoh sederhana: misalkan Anda punya account di sejumlah layanan e-mail berbasis web, mengelola website pribadi, chatting, mailing list, belanja hingga main game online. Pasti Anda diminta memasukkan identitas pribadi: setidaknya harus memiliki ID dan password. Karena untuk itu masing-masing layanan meminta jumlah karakter yang berbeda, akibatnya Anda harus memasukkan 10 ID dan 10 password untuk 10 layanan yang berbeda!

Bayangkan Anda harus mengingat begitu banyak ID dan password, yang sering membuat Anda bingung – dan kadang-kadang linglung – karena kata atau kode rahasia yang dimasukkan itu kadang bisa saling tertukar atau salah kombinasi.

Ketika Anda meminta agar administratornya mengirimkan lagi password Anda yang tersimpan di database mereka (dengan memanfaatkan fasilitas “forget password”), Anda belum tentu sukses mendapatkannya karena data-data tersebut pasti dikirimkan ke email yang Anda masukkan ketika mendaftar. Masalahnya, Anda juga lupa ID dan password untuk membuka email itu! Pusing tujuh keliling, bukan?

Namun, kini ada kabar baik untuk Anda. Ke depan, Anda tidak perlu repot-repot lagi memiliki segepok ID dan password. Metode yang sedang dikembangkan adalah pengenalan karakteristik pribadi secara elektronik yang disebut biometrik. Cara ini tidak lagi membutuhkan password, kunci enkripsi maupun kartu pintar (smart card) seperti kartu ATM atau kartu kredit, sebab tidak seorang pun yang bakal bisa mencuri suara, cap jari, karakter wajah maupun keunikan dan kedinamikan tanda tangan seseorang.

Pasalnya, tanda tangan elektronik (e-signature alias e-sign) akan diberlakukan secara luas. Tanda tangan ini akan merupakan sesuatu yang unik, satu-satunya, tidak mungkin tumpang-tindih (overlap), tertukar atau disalahgunakan oleh orang lain. Jadi setiap Anda ingin berlangganan berbagai layanan di web, Anda tidak perlu pusing memikirkan berbagai variasi ID dan password supaya tak mudah dilacak orang, tapi cukup memasukkan tanda tangan elektronik atau tanda tangan digital Anda.

Tanda tangan elektronik merupakan salah satu jurus otentikasi yang cukup andal dalam era dunia tanpa kertas (paperless world) dewasa ini. Metode yang mulai dikembangkan di Amerika Serikat ini kualitas legalnya sama dengan tanda tangan tradisional yang menggunakan tinta di atas kertas. Ini terjadi setelah Presiden Clinton pada 30 Juni 2000 menandatangani Undang-Undang E-Sign dan secara efektif mulai berlaku 1 Oktober 2000.

Pada tahap awal teknologi tanda tangan digital diharapkan bisa diadopsi perbankan dan institusi keuangan. Secara teori, E-Sign akan memungkinkan orang melakukan berbagai macam transaksi online. Yang perlu menjadi perhatian adalah upaya perluasan hukum dan aturan main (cyber-law) yang mengatur ini, termasuk standar teknologinya.

Majalah PC Magazine mendukung cara ini. Dengan menggunakan teknik biometrik seperti pengenalan tanda tangan dinamik, kecil sekali kemungkinan terjadinya pemalsuan. Penandatanganan dilakukan di atas tablet yang peka dengan tekanan. Piranti lunak akan mencatat bentuk karakter, kekhasan tulisan, kecepatan tulisan, tekanan pena sampai waktu yang digunakan. Dua perusahaan yang menawarkan verifikasi tanda tangan dinamik adalah Communication Intelligence Corp (www.cic.com) dan Cyber-Sign (www.cybersign.com).

Sebuah penawar bagi pengguna internet agar tidak repot-repot lagi menyimpan password, atau merasa jenuh mengisikan data-data pribadi. Apalagi sampai iseng memasukkan nama anjing segala.

Koran Tempo 18/Aug/2002  e-culture

TV Digital yang Sangat Personal

10, September, 2002

Kunci untuk membayangkan televisi masa depan adalah memandangnya bukan sebagai televisi. Sejauh ini, TV sudah meraup keuntungan terbesar dari gagasan penyiaran dalam bentuk digital. “Siaran berita jam 6 bukan hanya dikirim ketika Anda menginginkannya, tetapi dapat diedit untuk Anda dan diakses secara acak oleh Anda,” ujar seorang peneliti multimedia. Pendeknya, TV masa depan adalah semacam PC yang tentulah sangat serbaguna dan bersifat interaktif.

Memang terjadi perubahan mendasar ketika kita menikmati program-program lewat TV digital dibanding TV analog sebagaimana yang lazim kita kenal selama ini.Fungsi remote control misalnya, bukan lagi sekadar untuk pindah saluran atau mengubah volume, tapi bisa digunakan menjadi semacam mouse yang bisa mengarahkan kursor untuk berbagai keperluan. Mulai dari mengubah ukuran tampilan layar, membuka situs-situs media, hingga mengecek surat elektronik.

Secara teknis, hal itu juga dimungkinkan oleh makin majunya kualitas layar TV. Sebelumnya dengan jumlah garis scan yang sangat terbatas pada TV biasa, jika menonton dalam jarak dekat, mata kita bisa perih. Kemudian muncul teknologi yang mengubah gagasan ihwal garis scan yang sebelumnya dibentuk per gambar seperti layar TV biasa, menjadi garis scan per inci seperti layar komputer modern.

Di negara-negara maju, tingkat konsumsi terhadap TV digital sudah cukup besar. Di AS misalnya, lebih dari 50 persen rumah tangga, kini sudah memiliki akses ke TV digital. Selain karena tingkat ekonomi, gaya hidup masyarakat di sana juga sangat berpengaruh. Hasil penelitian West LB di Düsseldorf misalnya, menunjukkan bahwa warga Jerman menghabiskan 37 persen waktu senggangnya di depan TV.

Namun, bagi konsumen di negara-negara berkembang kemampuan untuk memiliki TV digital masih jadi soal. Hal itu disebabkan harga pesawat TV digital masih sangat mahal yaitu US $4,500 hingga $15,000 atau dengan kurs 1 USD = Rp7000 setara dengan Rp31.500.000 hingga Rp105.000.000. Di beberapa negara, pada tahun 2003-2005 mendatang, harga ini diharapkan turun menjadi sekitar US$ 1,000 atau Rp.7.000.000. Namun demikian, evolusi TV digital jelas sangat dipengaruhi oleh pasar sehingga lambat laun harga tersebut akan turun. Dan jika siaran TV digital telah menjangkau secara nasional maka harga TV digital juga akan terjangkau masyarakat banyak.

Pada saat yang bersamaan, sebetulnya ada faktor lain yang membuat TV digital bisa laku keras, yakni keberadaan DVD. “Hal itu disebabkan DVD mampu menampilkan segala sesuatu yang dijanjikan TV digital – dari gambar sekualitas bioskop hingga interaktivitas internet tanpa perlu tambahan biaya untuk meng-upgrade jaringan kabel atau satelit Anda,” demikian tulis Wired, majalah teknologi terkemuka. Pasangan DVD-TV digital akan menghadirkan gambar sekualitas bioskop dan suara yang mempersona. Kualitas DVD memang sangat jauh di atas pendahulunya, VCD – yang relatif lebih banyak digunakan saat ini di Indonesia.

DVD hanyalah salah satu faktor yang ikut mendorong pertumbuhan TV digital. Yang jelas, “ketika Anda memiliki pemutar DVD plus TV digital, Anda akan tahu betapa transisi digital sedang terjadi,” ujar seorang juru bicara retailer DVD. Termasuk transisi yang evolutif dari teknologi analog menuju digital.

Mengapa perlu masa transisi? Alasan utama adalah melindungi puluhan juta pemirsa yang telah memiliki TV analog untuk dapat secara perlahan-lahan beralih ke teknologi TV digital tanpa terputus layanan siaran yang ada selama ini. Selain itu juga untuk melindungi industri dan investasi operator TV analog yang telah ada.

Beberapa negara Asia Pasifik yang telah mulai menerapkan TV digital seperti Singapura dan Australia menggunakan teknologi DVB-T (Digital Video Broadcasting – Terrestrial) yang merupakan standar Eropa. Selain standar Eropa (DVB-T), untuk TV digital terdapat pula standar TV digital dari Jepang (DTTB) dan Amerika (ATSC). Hal ini merupakan kelanjutan dari tiga standar TV analog, yaitu PAL (Eropa), NTSC (Amerika) dan SECAM (Jepang). Walaupun demikian saat ini terdapat usaha-usaha untuk melakukan standarisasi teknologinya, sehingga memudahkan untuk diproduksi secara masal dan akhirnya membuat harga produksi menjadi murah.

Namun, para pemirsa tetap dapat menikmati siaran digital dengan memanfaatkan pesawat TV analog yang ada saat ini dengan menggunakan ‘set top box’ atau semacam dekoder. Harga per unit dekoder digital tersebut jauh lebih murah dari TV digital, yakni berkisar US$200 per unit atau setara dengan harga TV analog berwarna 14” saat ini.

TV digital jelas akan mengubah cara pandang kita dalam menikmati siaran yang disajikan. Dengan fasilitas on demand, Anda bisa memilih sendiri waktu dan program yang disukai. Kebanyakan program TV – kecuali pertandingan olahraga dan hasil pemilu – tidak perlu lagi disiarkan langsung, apalagi harus mengagendakannya dalam jadwal tayang yang ketat. Istilah jadwal tayang prime-time atau bukan, sudah tak relevan lagi. Setiap orang hanya akan menonton acara yang disukainya, kapan pun ia mau dan punya waktu.

Koran Tempo 01/Sep/2002  e-culture

SEMUANYA memang berkembang sangat cepat. Apa yang kemarin dianggap mustahil, hari ini mungkin sudah menjadi hal yang sangat biasa. Apa yang hari ini dianggap paling canggih dan terkalahkan, besok mungkin sudah dianggap sangat ketinggalan zaman.

Kekuatan gagasanlah yang membuat semua itu menjadi kenyataan. Termasuk gagasan yang cukup cerdas ini: mengawinkan dua primadona teknologi informasi dan telekomunikasi: Internet dan ponsel. Keduanya diyakini akan saling mengisi, bersinergi dan menjadi cara pintar untuk mencetak keuntungan bagi siapa saja yang cepat dan tepat memanfaatkannya. Perpaduan ini akan melahirkan suatu teknologi yang disebut mobile-commerce. Lalu bergulirlah paradigma dan trend baru: inilah saatnya ketika ponsel di tangan para konsumen bisa disulap jadi ‘mesin uang’!

Satu dekade silam, fungsi ponsel baru sebatas komunikasi dua arah yakni percakapan dan berbagai variasinya. Kemudian teknologi ponsel berkembang pesat terutama setelah ditemukannya teknologi transfer data seperti short message service alias SMS. Protokol WAP yang memungkinkan orang bisa mengakses Internet via ponsel kemudian juga ditemukan. Puncak perkembangan selular ditandai dengan lahirnya GPRS (general packet radio service) dan 3G (third generation), yang memungkinkan pengguna perangkat selular bisa menikmati fungsi multimedia.

Maka tak heran sejumlah perusahaan dotcom dan operator telekomunikasi berkolaborasi untuk melahirkan e-commerce dengan format bergerak yang kemudian dinamakan mobile-commerce alias m-commerce – meskipun patut dicatat bahwa tidak semua m-commerce berbasis Internet dan tidak semua aplikasi nirkabel bisa dikatakan miniatur Internet. Teknologi bergerak juga tidak selalu berupa telepon, tetapi bisa saja berupa PDA (personal data assistant).

Mengapa mobile? Mobilitas memang merupakan kata kunci trend global. Dewasa ini, mobilitas yang tinggi jangan sampai menghalangi seseorang terhadap akses informasi. Seseorang yang sedang terjebak macet, atau sedang berada jauh dari kantor, akan dengan mudah bisa tetap memantau portofolio investasi atau menyimak fluktuasi indeks saham. Namun, mobilitas bukan hanya milik orang bisnis, tapi juga ibu rumah tangga, mahasiswa, remaja maupun anak-anak. Pada tingkat tertentu, ponsel sudah tidak bisa dipisahkan dari gaya hidup masa kini, salah satu ikon penting dalam mendorong kemunculan apa yang disebut mobile-lifestyle.

Peluang itu diperkuat lagi oleh fakta yang terjadi. Sebuah riset menunjukkan, betapa pertumbuhan penggunaan ponsel jauh lebih cepat dibanding penggunaan telepon kabel (fixed line). Studi itu memperkirakan, dalam dua-tiga tahun ke depan, pengguna ponsel di seluruh dunia akan melampaui jumlah pengguna telepon biasa.

Masalahnya sekarang, bagaimana sih sebenarnya kebutuhan orang akan teknologi mobile ini? Apa betul orang bisa menikmati film atau nonton siara berita CNN di layar yang berukuran tak lebih dari dua buah perangko? Apakah orang benar-benar ingin belanja online ketika mereka tidak bisa melihat apa yang mereka beli?

Betul juga. Untuk itu, diperlukan solusi agar apa yang dihadirkan melalui teknologi bergerak betul-betul didasari oleh kebutuhan para penggunanya. Kolomnis Steve Kennedy (www.m-commerceworld.com/articles) menawarkan setidaknya ada empat inovasi yang akan “membawa teknologi mobile ke khalayak ramai”. Pertama, fitur yang ditawarkan haruslah mampu menjadi alternatif baru bagi distribusi konten. Kedua, memaksimalkan keberadaan GPRS yang memungkinkan para pengguna untuk mengirim dan menerima kiriman multimedia. Ketiga, perlu dihadirkan konten yang familiar dengan mobilitas (mobile friendly content). Kempat, tingginya minat orang terhadap SMS.

Namun, beberapa hal yang masih menjadi kendala bagi pengembangan m-commerce adalah soal biaya (billing) yang harus ditagih ke para konsumen. Sampai saat ini, mungkin masih bisa menggunakan airtime sebagai basis penghitungan, tetapi tentu saja akan terasa memberatkan pengguna karena akan terjadi tambahan biaya dalam tagihan ponsel mereka.

Yang jelas, apapun yang bisa dilakukan lewat Internet, sekarang sudah bisa pula dilakukan ketika Anda sedang berada di jalan, di sebuah pulau kecil saat liburan, atau di mana saja, cukup dengan menggunakan ponsel. Perbedaannya – dan sekaligus keunggulannya – ponsel sudah memiliki fitur otorisasi built-in yang kuat, tidak seperti Internet. Lagi pula, sekadar menunjuk contoh, Business Wire mencatat: “hanya 40% anak muda Amerika yang memiliki akses ke Internet, tapi 100% dari mereka memiliki ponsel, maka manfaatkanlah mereka!”.

Koran Tempo 08/Sep/2002    e-culture