Si Ajaib di Antara Dua Seteru

14, September, 2003

Microsoft membeli aplikasi yang memungkinkan Windows bisa dijalankan di Macintosh. Komunitas Mac uring-uringan.

LELAKI itu seolah tak percaya dengan matanya sendiri. David Zeiler sedang mengakses internet di komputer Macintosh-nya ketika berita itu muncul: perusahaan perangkat lunak (software) terkemuka, Microsoft Corp., mengumumkan telah membeli Connectix, produsen penghasil Virtual PC yang berbasis di San Mateo, California, Amerika Serikat. “Berita itu ibarat petir di siang bolong,” ujarnya.

Sebagai pengguna fanatik komputer keluaran Apple yang lazim disebut Mac itu, Zeiler khawatir pada masa depan Connectix. Virtual PC, yang memungkinkan Mac mengoperasikan aplikasi-aplikasi Windows, sudah sangat membantu pengguna Mac selama satu dasawarsa terakhir. Pembelian Connectix oleh Microsoft, pembuat sistem operasi Windows, menimbulkan teka-teki dan membuat Zeiler “benar-benar gugup”.

Zeiler tak sendirian. Hampir semua komunitas Mac bereaksi.

Mereka khawatir, setelah dibeli Microsoft, Virtual PC yang dinilai gesit itu akan dimatikan dan “pengguna Mac secara permanen akan dipaksa pindah ke Windows”. Dalam sebuah mailing list, seorang penggemar Mac sampai-sampai tak sanggup berkomentar apa-apa kecuali mengirimkan pesan, “It is bad… very bad.”

Dosen Universitas Gunadarma, I Made Wiryana, memaklumi kegusaran komunitas Mac itu. Sebab, “Microsoft sering membeli produk lain untuk dibunuh,” ujar ahli sekuriti jaringan yang kini sedang mengikuti program S-3 di Universitas Bielefeld, Jerman, ini. Menurut dia, setidaknya memang ada tiga motivasi Microsoft membeli produk lain: mematikan saingan (seperti Dbase dan Banyan Vines), membeli teknologi (Spyglas), dan meraih konsumen masa depan (WebTV).

Betulkah Connectix juga akan mengalami nasib terburuk? Sejumlah praktisi teknologi informasi tampaknya tak melihatnya begitu. Ron Okamoto, seorang bos perusahaan konsultan, justru gembira melihat Virtual PC jatuh ke tangan yang tepat. Menurut dia, dengan memasukkan aplikasi ini sebagai salah satu portofolio produknya, Microsoft menunjukkan komitmennya yang besar terhadap
platform Mac.

Namun, Tim Bajarin, seorang analis veteran, tak yakin Microsoft akan tertarik mengembangkan aplikasi-aplikasi baru untuk Mac pasca-akuisisi itu. “Microsoft hanya akan memikirkan Windows-nya,” ujar Presiden Creative Strategies ini, “Boleh jadi ini bagian dari upaya Microsoft untuk memonopoli sistem operasi.”

Memang bukan rahasia lagi bahwa Microsoft, yang berbasis di Seattle, dan Apple, yang berada di Cupertino, California, sudah lama menjadi seteru bebuyutan dalam merebut pasar sistem operasi (lihat 20 Tahun Perseteruan). Akibatnya, produsen dan konsumen dibuat repot. Setiap merilis produk, produsen harus membuat setidaknya dua versi: Windows dan Mac. Konsumen pun, ketika membeli software, harus menyesuaikan pilihannya dengan jenis sistem operasi yang dimilikinya.

Namun, sejak 1988, pengguna Mac sebenarnya sudah cukup tertolong ketika aplikasi Connectix memungkinkan mereka mengoperasikan Windows di Mac-nya. Tapi, bagi Microsoft, yang sejak awal punya impian ada Windows di setiap komputer, Virtual PC tentulah sangat menggoda. Apalagi, dalam perkembangannya, aplikasi ini juga bisa menjalankan Mac dan sejumlah sistem operasi lain seperti Linux, Netware, dan OS/2. Microsoft tentu melihat prospek yang menarik.

Selain Windows, Virtual PC juga mampu mengoperasikan lebih dari satu sistem operasi pada satu komputer pribadi (PC). Semua versi Windows, dari versi 95, 98, ME, hingga XP, bisa dijalankan sekaligus dengan Mac, Linux, Netware, dan OS/2. Ini jauh berbeda dari sistem dual boot, yang membutuhkan proses penginstalan yang rumit dan menggunakan salah satu sistem operasi sebagai boot
manager.

Aplikasi “ajaib” itu dianggap merupakan implementasi pertama yang mampu menghadirkan memori virtual untuk PC. Connectix, menurut Made Wiryana, memang aplikasi yang sudah mature dalam menyediakan solusi ini dan “sejarahnya juga sudah cukup lama.”

Bagi pengguna yang fanatik pada sistem operasi tertentu, atau hanya memiliki software yang cuma bisa jalan di sistem operasi tertentu pula, Virtual PC ibarat mimpi yang jadi kenyataan. “Ini tentu akan sangat praktis dan meningkatkan efisiensi,” ujar seorang pejabat Connectix.

Keandalan teknologi Virtual PC terutama terletak pada kemampuannya dalam proses integrasi lintas-platform (cross-platform integration), migrasi aplikasi sebelumnya (legacy application migration), dan konsolidasi server. Virtual PC untuk Windows, misalnya, memungkinkan pengguna menciptakan sejumlah mesin maya (virtual machine) terpisah di desktop Windows yang berfungsi sebagai host. Masing-masing mesin virtual akan menampilkan sistem hardware komplet–dari prosesor hingga card jaringan–dalam format tersendiri dan di lingkungan software yang terpisah. Paket ini bisa menjalankan XP, 2000, NT, 98, 95, 3.1, bahkan DOS, OS/2, Netware, atau Linux pada saat bersamaan tanpa perlu reboot (menghidupkan komputer kembali) untuk mengaktifkan masing- masing sistem operasi itu.

Paket Virtual PC untuk Mac mampu menghadirkan PC kompatibel yang memungkinkan Mac menjalankan aplikasi Windows, mengakses jaringan PC, menggunakan aplikasi internet khusus Windows, dan berbagi file dengan rekan- rekan pengguna PC. Aplikasi ini menghadirkan kompatibilitas PC Pentium melalui fasilitas maya yang disebut emulator. “Tak ubahnya seperti menaruh sebuah PC yang powerful ke dalam komputer Mac Anda,” ujar Roy K. McDonald, CEO Connectix. Untuk ini, spesifikasi komputer yang dibutuhkan adalah Pentium 3 atau 4, Windows 2000 atau XP, memori 512 RAM, dan free disc space 3 GB.

Paket lainnya adalah Connectix Virtual Server, yang lebih merupakan solusi bagi kalangan bisnis dalam melakukan konsolidasi server dan manajemen efisiensi terhadap lingkungan dengan sistem operasi beragam (multi-operating system). Virtual Server ini mampu menjalankan sejumlah sistem operasi dalam sebuah server.

Bagi perusahaan korporat, aplikasi buatan Connectix tentu sangat membantu. “Dengan Virtual PC, kami terhindar dari rencana membeli 300 mesin, menyebarkan 700 unit lagi, dan mampu menghemat hampir US$ 1 juta untuk pos hardware dan operasi,” ujar Lenny Goodman, Direktur Desktop Management Baptist Memorial Health Care Corporation.

Dilihat dari kenyataan itu, kekhawatiran bahwa Microsoft akan “membunuh” Connectix agaknya berlebihan. Apalagi Virtual PC tak mematikan sistem operasi yang ada, tapi malah akan tetap mengakomodasinya. “Memang, terlalu dini untuk panik soal akuisisi ini,” kata Zeiler, pengguna fanatik Mac itu, kemudian.

Untuk sementara, boleh dibilang Windows masih menang dalam pertarungannya melawan Macintosh.

Budi Putra

TEMPO Edisi 030316-002/Hal. 60      Rubrik Teknologi Informasi

Loket Tiket Pesawat di Genggaman

14, September, 2003

Penumpang pesawat bisa memesan tiket lewat ponsel. Hasil temuan tiga mahasiswa.

MUDAH diaplikasi, praktis, dan bisa dilakukan dengan cepat. Inilah kelebihan temuan tiga orang mahasiswa Ilmu Komputer Teknik Informatika Universitas Bina Nusantara, Jakarta: Johnny Wijaya, Beny Saputro, dan Budi Wijaya. Dengan kreasi itu, para calon penumpang pesawat terbang amat terbantu dalam melakukan booking tiket pesawat yang mereka butuhkan.

Karena itulah, dua pekan lalu ketiga anak muda berusia 22 tahun itu menggondol juara pertama “Microsoft 2nd Asia Student NET Competition” tingkat nasional. Mereka berhak mengikuti kompetisi serupa tingkat Asia Pasifik di Beijing, Cina, 27 Februari mendatang, yang akan diikuti 11 negara.

Dalam kompetisi di Beijing itu, menurut Arif Dharmawan dari Microsoft Indonesia, peluang temuan yang diberi nama “E-Flight Organizer” (EFO) untuk menang cukup besar. “Setidaknya, bisa masuk tiga besar karena mereka menawarkan aplikasi yang sudah jadi,” tuturnya.

Selain itu, keunggulan aplikasi ini dibanding dua pemenang lainnya–Universitas Pelita Harapan (“Help on Your
Hand”) dan Universitas Indonesia (“Generic Score Calculation System”)–adalah pada kemampuan eksplorasi XML Web Services yang maksimal. Alat untuk implementasinya juga beragam, mulai dari PDA (personal digital assistant), telepon genggam, hingga PC (personal computer).

Kemudahan mengakses EFO lewat berbagai peranti ini jelas memudahkan para calon penumpang pesawat terbang. Bila Anda sedang berada di jalan tapi perlu mengetahui informasi penerbangan, memilih rute, dan langsung memesan tiketnya dalam hitungan detik, tak perlu lagi balik ke kantor untuk mencari informasinya lewat PC. Cukup memencet tombol di ponsel atau menggoreskan pulpen di PDA. Hanya perlu waktu 12-20 detik untuk menyelesaikannya. Jauh lebih cepat dan ekonomis dibanding bila Anda menghubungi airline atau biro perjalanan.

Aplikasi ini juga memungkinkan pelanggan pesawat yang loyal (frequent flyer) bisa mengetahui berapa bonus yang diperolehnya berdasarkan rute yang ditempuh (mileage). Layanan EFO ini bisa jadi penasihat yang piawai bila Anda begitu sibuk sehingga tak sempat merencanakan perjalanan Anda. Tinggal masukkan jadwal keberangkatan, kedatangan, dan kota tujuan yang diinginkan, layanan ini akan segera menawarkan sejumlah alternatif perjalanan (plan trip). Tinggal pilih, dan langsung booking untuk tiket pesawat.

Untuk itu, yang perlu Anda lakukan hanya menginstal aplikasi EFO sebesar 380 kb di PDA yang sudah dilengkapi akses GPRS (general packet radio service). Pengguna HP malah lebih mudah. Aplikasi ini bisa langsung digunakan dengan mengetikkan alamat tertentu setelah perusahaan penyedia jaringan mengaktifkan fasilitas WAP (wireless application protocol). Tidak ada satu sen pun biaya yang harus dikeluarkan untuk layanan ini, kecuali pulsa SIM card yang digunakan.

Tiga pemuda yang kerap menggunakan layanan informasi penerbangan ini tertarik membuat EFO setelah melihat tidak memadainya informasi tersebut, yang hanya ada di situs web. Situs web jelas akan menyulitkan bagi orang yang punya mobilitas tinggi. Selain itu, selama ini fasilitas booking yang terbatas juga sering mengecewakan calon penumpang–dan cenderung sudah dikuasai biro perjalanan. Akhirnya, Johnny dkk. membuat sebuah aplikasi enterprise yang berbasiskan XML Web Services. Untuk itu, mereka melakukan riset terlebih dahulu di sejumlah perusahaan penerbangan.

Prototipe awal EFO ini–juga jadi bahan skripsi Johnny dkk.–sangat cocok digunakan perusahaan penerbangan dalam melayani konsumennya yang loyal. Sebab, yang bisa melakukan booking atau download jadwal penerbangan dalam fasilitas EFO ini hanyalah para anggota frequent flyer yang sudah dibekali username dan password–sementara non-anggota tetap bisa mengecek info penerbangan. Booking service ini juga dilengkapi fasilitas waiting list, yang secara otomatis akan mengatur status booking dan mengirim SMS untuk menyampaikan kode booking-nya.

Keunggulan layanan EFO ini makin bertambah karena perusahaan penerbangan selaku pemasok data tidak harus merombak infrastruktur teknologi mereka. “Kami sudah mendesain teknologi ini sepraktis mungkin sehingga airliner hanya perlu menyediakan tempat untuk server kami di kantornya,” ujar Budi. Menurut mereka, beberapa perusahaan sudah memuji keandalan aplikasi ini. So, siapa yang mau lebih dulu meminangnya?

Budi Putra

TEMPO Edisi 030302-052/Hal. 64      Rubrik Teknologi Informasi