Migrasi Total ke CDMA?

26, September, 2005

SEORANG kolega bertanya kepada saya, mungkinkah ia migrasi ke CDMA2000 1x dan say goodbye ke GSM. Saya balik bertanya, mengapa pindah?

Pertama, menurut dia, tarif GSM relatif mahal. “Kalau melakukan panggilan, detak jantung saya jadi sama cepatnya dengan ‘argo’ pulsa kartu GSM saya,” ujarnya terkekeh.

Kedua, ia mengaku lebih banyak berada di dalam kota. Ia sering melakukan panggilan menggunakan ponsel–sesering ia termangu mendapati tagihan bulanan yang cukup besar. Ketiga, akses Internet GPRS yang membuat dia harus “menjadi orang yang penyabar, arif, dan bijaksana”.

Jadi keyakinan untuk migrasi ke CDMA sudah sangat bulat. Bagi orang semacam ini, banyak pilihan layanan.

Saat ini sudah ada tiga operator fixed-wireless CDMA: Flexi (Telkom), Esia (Bakrie), dan StarOne (Indosat) serta operator seluler CDMA: Fren (Mobile-8). Jika Flexi, Esia, dan StarOne menggunakan kode area tertentu, Fren bisa dibawa ke mana-mana– sepanjang ada jaringannya. Namun, karena lisensinya seluler, tarif Fren relatif lebih mahal dibanding Flexi atau Esia, tapi tetap lebih murah dibanding GSM.

Rekan saya itu memang memutuskan akan menutup nomor lamanya. “Kalau harus ke luar kota, saya tinggal beli kartu perdana GSM,” ujarnya. “Lewat fasilitas voice-mail, saya tinggal meminta orang menelepon agar menghubungi saya ke nomor temporer ini,” katanya.

Memang akan muncul pengguna-pengguna ponsel yang memutuskan melakukan migrasi ke CDMA. Ada yang migrasi total, ada pula yang gradual.

Namun, yang tetap ber-GSM-ria juga tidak akan berkurang. Bagi orang tertentu, mengorbankan nomor seluler sama saja dengan menghilangkan peluang bisnis. Untuk alasan-alasan tertentu, kalangan ini akan cenderung menggunakan dua atau tiga ponsel. Dalam konteks ini, Indonesia akan menjadi contoh kasus karakter pengguna ponsel yang memiliki lebih dari satu ponsel.

Sejak kehadirannya pertengahan 2003 di Indonesia, saat ini setidaknya sudah 5 juta nomor CDMA yang terjual. Layanan CDMA akan menciptakan segmen baru, khas, dan tidak akan menggantikan posisi GSM. Kayaknya memang sulit bagi CDMA untuk mengejar GSM yang startnya sudah lebih awal dan kini memiliki 30 juta pengguna.

“Yang jelas, munculnya layanan CDMA membuat bisnis seluler dan mobilitas di Indonesia menjadi lebih kompetitif,” ujar Hasan Aula, Country Manager Nokia Indonesia. *** (Koran Tempo, 25/09/2005)

Pindah Frekuensi, Apa Lagi Ini?

12, September, 2005

SEORANG sejawat yang menjadi operator telepon CDMA (code division multiple access) pernah berujar. “Menurut survei yang kami lakukan, pengguna layanan bergerak tidak terlalu memusingkan teknologi apa yang ada di belakang handset mereka, GSM atau CDMA, yang penting nyaman digunakan,” ujarnya.

Rekan saya itu mungkin benar, meski juga tak sepenuhnya. Pasalnya, teknologi ini masuk ke Tanah Air ketika pasar GSM (global system for mobile communications) sudah sangat matang.

CDMA200-1x mulai beroperasi dua tahun lalu–yang ditandai oleh hadirnya Telkom Flexi–ketika pengguna GSM sudah mencapai lebih 20 juta orang.

Saat ini saja, ketika pengguna CDMA baru mencapai 5 juta orang lebih–Flexi (3,7 juta orang), Mobile-8 (1 juta), Esia (300 ribu), dan StarOne (123 ribu)–GSM sudah melewati angka 30 juta orang.

Pengguna GSM juga sudah terbiasa gonta-ganti ponsel, kartu, dan ke mana pun pergi, ponselnya tetap bisa digunakan.

Lain halnya dengan CDMA. Kecuali Mobile-8 yang dapat lisensi sebagai operator seluler, layanan CDMA di bawah operator berlisensi fixed-wireless hanya bisa digunakan dalam satu kode area saja.

Sementara itu, operator gencar mempromosikan produknya dengan iming-iming murah, tapi tak cukup sosialisasi tentang teknologinya sendiri sehingga penggunalah yang harus bekerja keras untuk memahami teknologi ini.

Sekarang keruwetan itu masih ditambah lagi dengan keharusan pindah frekuensi bagi Flexi dan StarOne.

Kedua layanan tersebut di Jabotabek yang beroperasi di pita frekuensi 1.900 MHz–pada rentang 1920-1980 MHz–itu sudah harus minggir karena frekuensi tersebut akan digunakan untuk layanan generasi ketiga (3G) WCDMA/UMTS.

Jelas ini sebuah kelucuan–kalau tidak dikatakan blunder. Sudah jelas tidak boleh kenapa masih saja nekat menempatinya, sehingga akhirnya harus dibayar mahal dengan pindah frekuensi?

Lalu mau pindah ke mana? Tak ada jalan lain, pilihannya hanya satu: frekuensi 800 MHz. Tapi, masalahnya, frekuensi itu sudah dinaungi oleh Mobile-8 dan Esia. Dengan pertimbangan kesamaan lisensi, Flexi dan StarOne harus bisa membujuk Esia agar mau berbagi.

Taruhlah Esia mau. Tapi ada konsekuensinya. Seluruh handset 1.900 MHz layanan Flexi dan StarOne harus diganti jadi handset 800 MHz. Nah, siapakah yang harus menanggung semua ini?

Sekalipun akhirnya tidak ikut menanggung, tetap saja proses ini membuat pengguna merasa tak nyaman. Tampaknya pengguna layanan CDMA di Indonesia memang harus ekstrasabar…. (Koran Tempo, 11/9/2005)