Seharusnya Materazzi yang dapat kartu merah, bukan Zidane. Nggak percaya? Lihat rekaman video berikut ini: 🙂
animation9.gif

Adegan lainnya — kalo yang ini, jelas kartu merah buat Zidane 🙂

zidanering.gif

zidanekarate.gif

Hak Menonton Piala Dunia

27, June, 2006

BAGI pemirsa televisi di sebagian wilayah Indonesia, terutama di kawasan perkotaan, menyaksikan Piala Dunia 2006 jelas bukan soal. Meskipun hanya disiarkan oleh satu stasiun televisi, semua partai pertandingan bisa dinikmati dengan mudah-sepanjang ada niat dan mau begadang.

Tapi ada sebagian masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di pedesaan, pedalaman, atau pegunungan, tidak bisa menyaksikannya. Meskipun mereka punya receiver dan parabola, mendadak siaran SCTV-pemegang hak siar Piala Dunia 2006-tidak bisa mereka nikmati. Padahal hari-hari biasa, SCTV adalah salah satu siaran televisi nasional yang bisa mereka tonton melalui akses parabola.

Pemirsa pedesaan dapat menyaksikan hitungan mundur sejak 365 hari sebelumnya. Tetapi pada hari H, tayangan Piala Dunia dari stasiun ini tak bisa dinikmati karena diacak. “Jadi buat apa hitungan mundurnya dipromosikan secara nasional?” protes seorang pemirsa yang kesal.

Apalagi, jika tetap ingin nonton Piala Dunia, pemirsa harus membeli sebuah receiver baru yang harganya Rp 2 jutaan–yang jika pesta bola berakhir, fungsinya sama dengan penerima parabola biasa.

Tapi haruskah mereka melewatkan perhelatan dunia empat tahunan hanya karena hak siar yang menurut mereka amat aneh itu? Situasi semacam itu ternyata belum menjadi “kiamat bola” bagi orang-orang yang tinggal di pedesaan dan pedalaman. Situasi krisis melahirkan kreativitas.

Salah satu contohnya: Desa Situjuah Batua, Kabupaten Limopuluah Koto, 130 kilometer dari Padang, ibu kota Sumatera Barat. Warganya tetap bisa begadang menikmati tayangan Piala Dunia lewat fasilitas parabola. Hanya saja yang mereka nikmati bukan SCTV yang jelas-jelas diacak, tapi LTV alias televisi Thailand!

Di desa yang terletak di pinggang Gunung Sago itu, pemirsanya justru akrab dengan tayangan dan iklan televisi asing tersebut.

Lalu bagaimana mereka mendapatkan siaran televisi Thailand? Gampang. Pasalnya, televisi tersebut tidak mengacak siaran langsung Piala Dunia. Beberapa anak muda bahkan berhasil mendapatkan kode transponder yang diperlukan. Lalu melakukan roadshow ke rumah-rumah atau lapau-lapau (warung) membantu mengubah setelan di penerima siaran parabola.

Salah seorang dari mereka menyodorkan secarik kertas kepada saya. Isinya: Trans frequency = 03806.00 MHz; Symbol rate = 03.034 M.Baud; Polarisasi = vertikal, Mech. Pol = V; 12 v = off dan LNB Frequency = 05150 MHz.

Hasilnya, siaran langsung Piala Dunia di depan mata! Tanpa perlu mengganti parabola dan hanya memasukkan kode tertentu melalui remote control, semuanya jadi beres.

Suatu malam saya menyempatkan diri nonton di salah satu lapau. Salah seorang dari mereka saya tanya, bagaimana halnya dengan komentator (sebelum dan di sela pertandingan) yang menggunakan bahasa Thailand, yang tentu tidak bisa mereka pahami?

Jawabannya agak mengejutkan sekaligus menggelikan saya: “Apa bedanya, Pak. Komentator orang Indonesia toh juga sering bikin pusing. Prediksinya meleset melulu. Jadi mending yang bahasanya tidak dimengerti sekalian. Kita tak perlu mengumpat-umpat, kan? Tambah dosa aja!”

Terus-terang saya terkagum-kagum melihat fenomena ini. Ternyata, bagi orang-orang seperti di daerah ini, menonton Piala Dunia adalah hak asasi yang tak bisa dikebiri hanya oleh hak monopolistik yang terjadi saat ini.

Monopoli hak siar adalah salah satu contoh praktek dalam politik globalisasi yang ternyata bisa dilawan dengan logika globalisasi juga: bukankah banyak televisi asing yang bisa ditangkap dengan mudah dan ternyata hampir tak ada dari mereka yang mengacak siaran langsung untuk momentum sekaliber Piala Dunia? * Budi Putra

Koran Tempo, Selasa 27 Juni 2006 | Kolom

logo_tagline_sm.gifRANAH Internet memang identik dengan kejutan-kejutan baru. Salah satu kejutan yang terjadi tempo hari muncul dari blogosfer: ketika sebuah nama, YouTube, tiba-tiba muncul dan melesat di jagat Internet.

YouTube, situs video yang dibuat oleh Chad Hurley dan Steve Chen pada Februari 2005. Kemunculannya memicu “demam” video blog atau vlog.

Big Boys lainnya tentulah kebakaran jenggot. Tidaklah mengherankan pekan lalu Yahoo juga meluncurkan situs serupa, yaitu Yahoo Video.

Di YouTube, pengunjung dapat menemukan potongan klip video, game, pidato politik, perjalanan, hingga film kartun atau video apapun yang diunggah (diupload) ke sana.

Sebagai “anak kemarin sore” YouTube memang mencengangkan. Jumlah traffic di situs tersebut dilaporkan mencapai lebih dari 30 juta per hari dan menempati urutan ke-25 situs paling ramai di Internet. Posisi YouTube bahkan berada di atas America Online (AOL), Skype, dan IMDB. Tidak kurang dari 30 ribu video diunggah para vlogger setiap hari.

YouTube kini mampu menarik 43 persen pengunjung situs video di Internet, disusul MySpace Video di urutan kedua dengan 24 persen pengunjung. Google Video, MSN Video, dan America Online Video yang masing-masing hanya dilirik kurang dari 10 persen pengunjung situs video. [G!]