Yang ditakuti pemain online game bukan monster seribu nyawa, melainkan koneksi internet yang tiba-tiba down.

BEKERJA sepuluh jam sehari di sebuah lembaga keuangan investasi di Seoul, Korea Selatan, tak membuat Yoon Dae-won kelelahan. Setiap malam, ia masih sempat bergabung dengan sejawatnya di kafe internet dan bermain Lineage: The Blood Pledge hingga subuh. Tapi itu belum cukup juga. Setiap hari, dalam perjalanannya dari rumah ke kantor, dengan telepon seluler ia masih melanjutkan petualangan berburu monster itu. “Jika saya tak berhasil membunuhnya, pasti akan terbawa mimpi,” ujarnya.

Lelaki berusia 25 tahun itu memang terobsesi oleh online game. Tapi ia tak sendiri. Dari 3,2 juta pengguna aktif Lineage di dunia selama satu bulan, 2,2 juta di antaranya berasal dari Korea Selatan. Meluasnya permainan ini di Negeri Ginseng didukung oleh infrastruktur teknologi informasinya, yang menggunakan koneksi pita lebar (broadband).

Permainan online kolosal atau massively multiplayer online role-playing game (MMORPG) seperti Lineage memang membutuhkan koneksi internet yang cepat dan stabil. Jika tidak, pasti berantakan. Yang ditakuti pemain ternyata bukan monster raksasa seribu nyawa, melainkan koneksi internet yang tiba-tiba melambat atau bahkan down. “Permainan yang terhenti tiba-tiba jauh lebih buruk daripada mati tertembak dalam sebuah permainan,” ujar Nora Achirati, seorang analis permainan digital.

Sebegitu parahkah permainan online ini? Dari sisi teknis memang masih terbentur masalah, tapi dari sisi prospek tak ada yang meragukan. Meskipun jagat game saat ini masih dikuasai permainan offline yang menggunakan komputer lokal ataupun play-station, masa depan permainan online diyakini sangat cerah. Pusat riset DFC Intelligence memperkirakan 114 juta orang akan bermain online game pada 2006, jauh lebih banyak dibanding sekitar 50 juta orang yang memainkannya saat ini.

Apalagi, prinsip permainan jenis ini, yang massal, serentak, dan interaktif, sangat menggoda. “Siapa sih yang tidak tertantang bermain dengan lawan-lawan dari berbagai negara?” kata Eddy Lim, pendiri komunitas Indonesian Gamer.

Di Asia, selain Korea Selatan, permainan ini juga diminati di Jepang, Cina, dan negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Menurut majalah Level, permainan digitl ini sudah mulai digemari di Tanah Air, ditandai dengan populernya Redmoon. Selain itu, portal online game pertama di Indonesia, Bolehgame.com, baru saja meluncurkan versi beta, Laghaim. Sebelumnya komunitas ini sudah merilis Nexia, PamPam Game, dan GunBound.

Masih menganganya pasar online game membuat Sony Corp., produsen video game dengan angka penjualan tahun lalu mencapai US$ 56,9 miliar, langsung mencari jurus baru. Bekerja sama dengan IBM, produsen komputer dengan pendapatan US$ 85,9 miliar (2001), dan Butterfly.net Corp, Sony segera memperkenalkan jaringan online game (online game grid). Jaringan yang bisa menggunakan koneksi broadband, dial-up, ataupun telepon seluler ini memungkinkan lebih dari sejuta pengguna PlayStation 2 bisa bermain secara bersamaan di internet.

Selama ini pemain terbagi ke dalam berbagai server (penyedia jasa), dan jumlah pemain dibatasi. Jumlah pemain yang berlebih (overloaded) akan membuat server jadi down dan permainan terhenti. Tapi, dengan jaringan ala Sony, interaksi server-nya diperkuat dengan infrastruktur game yang gesit: server dapat ditambah atau diganti, tanpa harus mengganggu atau menghentikan permainan sama sekali.

Tentu ini kabar baik yang sudah lama ditunggu-tunggu para pecandu game, karena mereka bisa bermain tanpa sekat dan tenggat. “Inilah surga bagi para gamer,” kata Nora.

Jaringan yang dijalankan dengan IBM Dual Xeon Blade Servers–bisa dijalankan dengan Linux, WebSphere, dan DB2–ini dibangun dengan gugusan server yang menggunakan protokol Globus. Selain  PlayStation 2, teknologi ini juga bisa melayani WindowsPC/Xbox, LinuxPC, Mac OSX, PocketPC, dan Palm.

Eddy yakin, berbagai game baru yang sedang dirancang pasti akan menyesuaikan diri dengan teknologi grid. Proyek semacam ini, menurut dia, sudah berada pada aras yang benar. “Online game memang masa depan pemain dan kreator game,” ujarnya kepada TEMPO.

Ya, kenapa tidak?

Budi Putra

TEMPO Edisi 030323-003/Hal. 60      Rubrik Teknologi Informasi

Perusahaan-perusahaan besar meliriknya. Namun, antusiasme pada Internet tanpa kabel ini masih dihantui masalah keamanan.

HARI-hari yang dilewati Yang Bora, mahasiswa komunikasi massa di Yonsei University, Seoul, menjadi amat menggairahkan. Sebagai peserta program MBA di kampusnya, banyak sekali tugas riset yang harus dikerjakannya, dan semua itu tak mungkin dilakukan tanpa Internet. Ia bersyukur menjadi salah seorang warga di ibu kota Korea Selatan itu: bisa menikmati akses Internet kecepatan tinggi yang murah meriah.

Pria berusia 27 tahun itu tak cuma bisa menikmati kemudahan tersebut di kampus, tapi bisa di mana saja dan kapan saja. Ia juga tak perlu mencari Internet di komputer yang menggunakan fixed-line. Hanya berbekal sebuah laptop yang sudah dilengkapi antena nirkabel, ia tinggal nongkrong di kawasan kaya akses (hot spot) sinyal Internet Wi-Fi (wireless fidelity). “Kini saya bisa  melakukan banyak hal setelah kuliah,” ujarnya. Ia bisa mengkopi musik favorit, bermain online game, menawarkan jasa konsultasi, bekerja jarak jauh, atau ikut memasarkan produk tertentu di Internet.

Pendeknya, sepanjang “gerilya” Internet gratis itu, ia bisa bermain Internet sepuasnya–tergantung kemampuan baterai laptop-nya.

Yang Bora adalah satu dari ribuan mahasiswa Negeri Ginseng yang kecipratan akses Internet supercepat sejak dibangunnya ribuan sentra Wi-Fi di Korea Selatan–menyaingi jumlah sentra yang ada di Amerika Utara, Eropa, dan Australia. Sentra-sentra serupa juga sudah dibangun di Cina, Taiwan, Jepang, dan Singapura. Di Indonesia, sentra akses ini sudah terdapat di sebuah kafe di Plasa Senayan, Jakarta.

Lebih dari 18 juta orang di seluruh dunia menggunakan teknologi ini dan jumlahnya terus bertambah setiap hari seiring dengan jumlah hot spot yang memang akan tumbuh pesat. TeleAnalytics, sebuah perusahaan riset, menyebutkan jumlahnya akan melebihi 300 ribu sentra di seluruh dunia pada 2006.

Apa itu Wi-Fi? Inilah teknologi dengan sinyal radio yang memancarkan koneksi Internet hingga radius 90 meter. Jika peranti mungil ini ditempelkan pada modem dengan koneksi berpita lebar, semua komputer di sekitarnya yang memiliki penerima Wi-Fi bakal bisa masuk ke Internet–tak peduli modem itu berada di ruang kantor sebelah, kamar tetangga, atau rumah di seberang jalan; juga tak peduli apakah si pemilik modem itu mengizinkan akses Internetnya dinikmati orang lain tanpa izin.

Ini memang teknologi paling cespleng yang membuat Internet makin diincar. Teknologi standar Wi-Fi alias 802.11b yang menggunakan spektrum 2,4 GHz mampu mentransmisikan sinyal sekuat 11 megabita per detik (Mbps). Belum lagi kehadiran dua standar baru, 802.11a dan 802.11g, makin mengundang decak kagum. Teknologi 802.11a, yang menggunakan spektrum 5 GHz, memungkinkan transmisi hingga 54 Mbps. Sedangkan 802.11g, yang hanya menggunakan spektrum 2.4 GHz, mampu melakukan transfer data hingga dua kali lipat, 22 Mbps.

Karenanya, di kedai-kedai kopi, resto, atau ruang tunggu bandara, Anda tak perlu sibuk mencari sambungan telepon hanya untuk mendapatkan akses Internet di laptop Anda. Lupakan saja kabel-kabel itu. Lupakan pula warung Internet.

Saat ini sudah ada beberapa produsen software yang memungkinkan Anda menerima dan bahkan mengirimkan sinyal Internet Wi-Fi. Intel Corp., misalnya, baru meluncurkan produk terbaru andalannya: Centrino, sebuah paket teknologi yang kompak, perpaduan dari prosesor Pentium Mobile, chipset Intel 855, dan fungsi jaringan nirkabel berbasis 802.11. “Inovasi ini kami lakukan bersama-sama kemitraan dalam pemasangan hot spot Wi-Fi dalam skala industri yang luas,” ujar Budi Wahyu Jati, Country Manager Intel Indonesia Corporation.

Perusahaan jaringan Cisco Systems merogok kocek hingga US$ 500 juta (sekitar Rp 4,9 triliun) untuk membeli Linksys, produsen peralatan Wi-Fi, dan sekaligus menempatkan dirinya berhadapan langsung dengan Microsoft yang tampil tahun lalu. Perusahaan-perusahan telepon, seperti Verizon dan SBC, bergabung dengan T-Mobile untuk menawarkan layanan Wi-Fi. Perusahaan lainnya, Boingo, telah membangun 600 sentra akses supercepat itu untuk mempromosikan diri.

Jika perusahaan-perusahaan itu ikut membangun hot spot, tentu ada maunya. Lain halnya dengan ribuan penggila teknologi ini yang bergotong-royong menancapkan antena sendiri untuk menghadirkan sentra Wi-Fi mereka. Dimotori para pelopor macam Rob Flickenger di San Francisco dan Anthony Townsend di New York, mereka merakit sentra Wi-Fi berbasis Linux yang murah meriah, lantaran perlengkapan Wi-Fi masih mahal. Bahkan antena yang mereka bikin terbuat dari kaleng bekas keripik Pringles. Tujuannya mulia: mereka menginginkan masyarakat di mana pun bisa menikmati Internet dari jaringan itu dengan gratis. “Model Wi-Fi kami tak akan berguna jika pengguna dikenai biaya,” ujar Townsend.

Teknologi ini memang dilahirkan oleh komunitas “akar rumput” sebagai buah dari gerakan antikomersialisasi Internet. Para penggila Internet dan komputer sering berkumpul mencari solusi akses gratis bagi siapa pun. Romantisme jalanan itu akhirnya menemukan jawabannya ketika mereka menemukan bahwa sinyal radio bisa digunakan untuk memancarkan akses Internet dan melahirkan jabang bayi Wi-Fi.

Meski ditemukan oleh komunitas “akar rumput”, tak bisa dimungkiri, Wi-Fi adalah loncatan terbesar dan penting dalam sejarah Internet. Tidaklah mengherankan ketika para pebisnis melihat ini sebagai tambang uang baru. Mereka tidak sekadar datang, tapi mulai memberi nasihat ini-itu. Di mata mereka, Wi-Fi adalah kawasan tanpa regulasi soal otorisasi dan privasi. Pendeknya, Wi-Fi adalah dunia yang kacau-balau. Karenanya, ujar Anand Chandrasekher dari Intel, mereka ingin mengubah Wi-Fi “dari sekadar aktivitas nakal di dunia nirkabel menjadi solusi industri andalan”.

Tak kurang dari perusahaan penerbangan sekaliber Boeing Co. sedang mengincar lahan ini: bikin warung Internet di udara. Malah tahun depan diperkirakan lebih dari 100 pesawat jet Boeing sudah dilengkapi Wi-Fi.

Naik daunnya Wi-Fi bukan tanpa sebab. Dukungan juga datang dari para produsen peranti keras yang sudah memasukkan kapabilitas Wi-Fi ke komputer dan peranti perekam digital mereka dan operator jaringan Internet berpita lebar. Apalagi, harga perlengkapan teknologi ini juga makin murah dibanding beberapa tahun lalu.

Namun, di tengah antusiasme itu, masih ada soal yang mesti segera dipecahkan, yakni ihwal keamanan. Seorang profesor di University of Maryland menemukan adanya kelemahan serius dalam protokol keamanan Wi-Fi, yakni 802.1x. Menurut William Arbaugh, penggunaan akses publik macam hot spot merupakan celah yang ranum bagi para pembobol jaringan karena lokasi semacam ini tidak mampu mengoperasikan protokol WEP (wired equivalent privacy) yang paling mendasar. “Hal yang kelihatan sepele inilah yang kemudian dieksploitasi pihak luar,” ujarnya.

Hal lain yang patut menjadi pertimbangan dalam pengembangan berikutnya adalah kemungkinan tumpang-tindih dengan sistem seluler Generasi Ketiga (3G), yang juga menawarkan Internet nirkabel. Namun, Wi-Fi punya keunggulan lain yang tak dimiliki 3G, yakni terdapatnya ribuan sentra akses gratis di seluruh dunia, sehingga memungkinkan mahasiswa seperti Yang Bora bisa melakukan banyak hal di Internet di luar jam kuliahnya tanpa dipusingkan biaya akses Internet dan pulsa telepon yang membengkak.

Budi Putra

MEMBUAT JARINGAN ITU

Berikut cara merancang sebuah jaringan Wi-Fi:

1. Pilih koneksi kecepatan tinggi (broadband) yang ditawarkan penyedia jasa Internet (ISP) di kota Anda. Gunakan modem eksternal di PC Anda.

2. Belilah titik akses (access point) seukuran jam radio yang terdiri atas router Internet dan radio Wi-Fi dua arah. Colokkan kabel ke bagian belakangan modem dan PC. Harganya sekitar US$ 100-200. Jadi, PC berfungsi sebagai server yang sudah dilengkapi akses Internet.

3. Pasang antena seukuran kartu kredit (harganya sekitar US$ 30-50) di laptop Anda, setelah lebih dulu memasang peranti lunaknya.

4. Kini, jaringan Wi-Fi Anda sudah berfungsi. Ujilah kekuatan sinyal dengan berjalan keliling rumah sambil menenteng laptop. Jika sinyalnya lemah karena terhalang dinding atau benda tertentu, Anda bisa naik atau turun ke daerah tepat di atas atau di bawah titik akses.

5. Kalau ingin lebih oke, Anda bisa membeli penguat sinyal, yang dipasang ke router seharga US$ 100.

6. Selamat menikmati–dan jangan lupa, jika tetangga Anda juga punya laptop plus antena Wi-Fi, berarti pada saat yang sama dia juga bisa menikmati akses gratis dari jaringan Anda.

TEMPO Edisi 030511-010/Hal. 65      Rubrik Teknologi Informasi