Egadget-Vista1.jpgAkhirnya sistem operasi terbaru Microsoft, Windows Vista, akan dirilis ke pasarans pada Desember 2006. Padahal sebelumnya produsen peranti lunak terkemuka sempat berjanji akan melepas Vista ke pasaran pada semester kedua 2006. Microsoft berjanji Vista akan tampil dengan performa yang lebih cepat dan lebih baik dalam hal pencarian data seperti e-mail, musik, foto dan content video. Vista juga meningkatkan sistem sekuriti, seperti untuk kontrol orang-tua dan media player

baru.

egadget-Sun_Microsystems_logo.png
Sun Microsystems Inc mengumumkan bahwa sistim operasi Solaris 10 OS miliknya telah didaftarkan lebih dari empat juta lisensi setelah resmi dirilis ke publik setahun yang lalu. Di dalam Solaris 10 OS terdapat fitur-fitur seperti Dynamic Tracing (DTrace), Predictive Self Healing dan Solaris Containers, yang diklaim memungkinkan pelanggan memanfaatkan sumber daya sistem lebih efektif dan lebih cepat menganalisa dan mengatasi masalah yang timbul sehingga memaksimalkan investasi perangkat keras dan menjaga kelancaran operasional.

Solaris OS merupakan sistem operasi gratisan dari Sun yang kompatibel dengan platform yang didukung oleh teknologi SPARC dan sistem x64. Solaris 10 OS baru-baru ini juga diklaim telah mendukung lebih dari 500 platform sistem x86 termasuk produk-produk keluaran HP dan IBM serta membuka kode dari sistem operasi tersebut.

MULAI 3 Agustus 2005, versi beta Windows Vista–yang sebelumnya dikenal dengan nama kode Longhorn–akan dibagi-bagikan perusahaan pembuat peranti lunak, Microsoft Corp, kepada sekelompok orang yang tergabung dalam sebuah fokus grup dari berbagai belahan dunia.

Mereka akan diminta menguji coba dan mengoprek-oprek peranti lunak sistem operasi teranyar yang sudah lama ditunggu-tunggu itu. Umpan balik dari mereka sangat penting dan akan mempengaruhi Microsoft dalam menetapkan kapan versi beta berikutnya dirilis. Ini juga akan mempengaruhi perusahaan yang bermarkas di Redmond itu dalam menetapkan kapan Windows Vista akan dirilis secara luas dan komersial.

Microsoft menjanjikan fitur-fitur unggulan dalam sistem operasi ini. Beberapa di antaranya adalah keandalan kemampuan grafis, mesin pencari, sistem pengorganisasian informasi, dukungan terjadi jaringan komputer, jaminan keamanan yang tinggi, hingga dukungan terhadap protokol baru Internet, IPv6.

Di luar reaksi yang beragam terhadap penggunaan nama Vista–karena ini memang sebuah nama yang sudah sangat “pasaran” sebelumnya–sistem operasi teranyar ini memang layak dinantikan kehadirannya. Pasalnya, apa pun yang akan ditawarkan Windows, orang pasti akan tetap membeli karena sistem ini adalah penguasa lebih 90 persen sistem operasi di dunia.

Sistem operasi adalah nyawa bagi komputer. Tanpa peranti lunak ini, komputer hanyalah seonggok perangkat keras bodoh yang tak bisa apa-apa. Sistem operasilah yang menjadi sumber energi yang menggerakkan komputer dan menjadi pintu gerbang utama bagi peranti lunak aplikasi lain untuk dapat beroperasi di lingkungan Windows.

Di sinilah kejeniusan Bill Gates, pendiri Microsoft. Ia tahu persis: ketergantungan komputer terhadap sistem operasi akan semakin tinggi dari waktu ke waktu dan bukan sebaliknya. Inilah yang melatarinya dalam memfokuskan bisnis peranti lunak di sistem operasi.

Dari situlah bagaimana Microsoft bermula menjadi bagian dalam sejarah kontemporer komputer pribadi alias PC. Ambisinya adalah “setiap komputer di setiap rumah dengan Windows yang menjadi jendelanya”.

Sistem operasi Windows menemukan momentumnya ketika teknologi antarmuka (GUI) komputer semakin maju. Mereka merilis Windows 3.1, Windows 95, Windows ME, Windows 2000, dan Windows XP–termasuk di dalamnya versi-versi untuk server.

Tanpa disadari, para pengguna komputer pribadi sudah semakin familiar dengan Windows. Pertumbuhan jumlah pengguna Windows melesat dengan cepat. Hampir semua orang terbiasa dengan cara berpikir dan hierarki Windows–sebuah kebiasaan yang sukar dilepaskan pengaruhnya. Sampai kini. –Koran Tempo, 31/7/2005

Ada Komputer, Ada Hacker

25, August, 2005

ADA dua hantu yang kini paling ditakuti di dunia: teroris dan hacker. Yang pertama mengancam nyawa manusia dan berdampak secara politik, yang kedua mengancam komputer dan berdampak secara ekonomi dan bisnis.

Yang satu ditakuti oleh pemimpin negara, satunya lagi ditakuti oleh direktur perusahaan besar. Pendeknya, bagi kedua makhluk yang berkedudukan sebagai bos ini, hidup pasti akan lebih indah tanpa hantu-hantu itu.

Tapi yang namanya hantu tak pernah mau berlalu begitu saja. Dunia hantu ini juga sangat misterius. Banyak sekali mitos dialamatkan kepada mereka, tapi juga tak sedikit fakta yang membelalakkan mata.

Fakta terbaru kembali terjadi pekan lalu. Seorang pemrogram komputer asal Austria berhasil mengeksploitasi celah-celah dalam teknologi yang akan menjadi bagian dari sistem operasi Microsoft teranyar, Windows Vista.

Bukan hanya Microsoft, vendor jaringan terbesar, Cisco Systems, juga tak luput dari ancaman hacker. Para penyusup ini berhasil memanen data dan password dengan cara memanfaatkan celah pada peranti lunaknya.

Jelas bukan hal sederhana: penyusup berhasil mengusik Windows, yang menguasai 90 persen pasar sistem operasi di dunia, dan mencolek Cisco, yang menguasai pasar jaringan dan infrastruktur teknologi informasi dunia.

Mengapa para hacker ini sangat doyan menyusup dan mengusik? Mengapa mereka harus lahir ke dunia ini?

Ada banyak motivasi yang melatari hacker untuk beraksi: sekadar pamer kekuatan, menguji kemampuan, menjawab keingintahuan, atau karena ketagihan.

Bahkan ada juga hacker yang niatnya membantu. Mereka misalnya membobol kode-kode tertentu dan membaginya kepada siapa saja yang membutuhkan. Alasannya, bukan orang berduit saja yang berhak terhadap informasi.

Selain itu, ada hacker yang secara profesional memang dibayar untuk mencari kelemahan suatu produk teknologi. Bahkan ada yang berasal dari orang dalam perusahaan yang kemudian menjadi target. Artinya, ada motivasi ekonomi di dalamnya.

Namun, menurut seorang pakar komputer, meski dirasakan lebih banyak menimbulkan kerugian, keberadaan hacker tidak bisa dinafikan dalam sejarah perkembangan komputer. “Di mana ada komputer, di situ ada hacker,” ujar Randall.

Malah, katanya lagi, sejatinya mereka ikut membantu membesarkan dunia komputer. “Merekalah yang membuat para insinyur teknologi tak boleh lengah, tak boleh rakus, dan harus bersedia dikoreksi kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalam produknya.”

Bravo hacker!

–Koran Tempo, 7/8/2005

Si Ajaib di Antara Dua Seteru

14, September, 2003

Microsoft membeli aplikasi yang memungkinkan Windows bisa dijalankan di Macintosh. Komunitas Mac uring-uringan.

LELAKI itu seolah tak percaya dengan matanya sendiri. David Zeiler sedang mengakses internet di komputer Macintosh-nya ketika berita itu muncul: perusahaan perangkat lunak (software) terkemuka, Microsoft Corp., mengumumkan telah membeli Connectix, produsen penghasil Virtual PC yang berbasis di San Mateo, California, Amerika Serikat. “Berita itu ibarat petir di siang bolong,” ujarnya.

Sebagai pengguna fanatik komputer keluaran Apple yang lazim disebut Mac itu, Zeiler khawatir pada masa depan Connectix. Virtual PC, yang memungkinkan Mac mengoperasikan aplikasi-aplikasi Windows, sudah sangat membantu pengguna Mac selama satu dasawarsa terakhir. Pembelian Connectix oleh Microsoft, pembuat sistem operasi Windows, menimbulkan teka-teki dan membuat Zeiler “benar-benar gugup”.

Zeiler tak sendirian. Hampir semua komunitas Mac bereaksi.

Mereka khawatir, setelah dibeli Microsoft, Virtual PC yang dinilai gesit itu akan dimatikan dan “pengguna Mac secara permanen akan dipaksa pindah ke Windows”. Dalam sebuah mailing list, seorang penggemar Mac sampai-sampai tak sanggup berkomentar apa-apa kecuali mengirimkan pesan, “It is bad… very bad.”

Dosen Universitas Gunadarma, I Made Wiryana, memaklumi kegusaran komunitas Mac itu. Sebab, “Microsoft sering membeli produk lain untuk dibunuh,” ujar ahli sekuriti jaringan yang kini sedang mengikuti program S-3 di Universitas Bielefeld, Jerman, ini. Menurut dia, setidaknya memang ada tiga motivasi Microsoft membeli produk lain: mematikan saingan (seperti Dbase dan Banyan Vines), membeli teknologi (Spyglas), dan meraih konsumen masa depan (WebTV).

Betulkah Connectix juga akan mengalami nasib terburuk? Sejumlah praktisi teknologi informasi tampaknya tak melihatnya begitu. Ron Okamoto, seorang bos perusahaan konsultan, justru gembira melihat Virtual PC jatuh ke tangan yang tepat. Menurut dia, dengan memasukkan aplikasi ini sebagai salah satu portofolio produknya, Microsoft menunjukkan komitmennya yang besar terhadap
platform Mac.

Namun, Tim Bajarin, seorang analis veteran, tak yakin Microsoft akan tertarik mengembangkan aplikasi-aplikasi baru untuk Mac pasca-akuisisi itu. “Microsoft hanya akan memikirkan Windows-nya,” ujar Presiden Creative Strategies ini, “Boleh jadi ini bagian dari upaya Microsoft untuk memonopoli sistem operasi.”

Memang bukan rahasia lagi bahwa Microsoft, yang berbasis di Seattle, dan Apple, yang berada di Cupertino, California, sudah lama menjadi seteru bebuyutan dalam merebut pasar sistem operasi (lihat 20 Tahun Perseteruan). Akibatnya, produsen dan konsumen dibuat repot. Setiap merilis produk, produsen harus membuat setidaknya dua versi: Windows dan Mac. Konsumen pun, ketika membeli software, harus menyesuaikan pilihannya dengan jenis sistem operasi yang dimilikinya.

Namun, sejak 1988, pengguna Mac sebenarnya sudah cukup tertolong ketika aplikasi Connectix memungkinkan mereka mengoperasikan Windows di Mac-nya. Tapi, bagi Microsoft, yang sejak awal punya impian ada Windows di setiap komputer, Virtual PC tentulah sangat menggoda. Apalagi, dalam perkembangannya, aplikasi ini juga bisa menjalankan Mac dan sejumlah sistem operasi lain seperti Linux, Netware, dan OS/2. Microsoft tentu melihat prospek yang menarik.

Selain Windows, Virtual PC juga mampu mengoperasikan lebih dari satu sistem operasi pada satu komputer pribadi (PC). Semua versi Windows, dari versi 95, 98, ME, hingga XP, bisa dijalankan sekaligus dengan Mac, Linux, Netware, dan OS/2. Ini jauh berbeda dari sistem dual boot, yang membutuhkan proses penginstalan yang rumit dan menggunakan salah satu sistem operasi sebagai boot
manager.

Aplikasi “ajaib” itu dianggap merupakan implementasi pertama yang mampu menghadirkan memori virtual untuk PC. Connectix, menurut Made Wiryana, memang aplikasi yang sudah mature dalam menyediakan solusi ini dan “sejarahnya juga sudah cukup lama.”

Bagi pengguna yang fanatik pada sistem operasi tertentu, atau hanya memiliki software yang cuma bisa jalan di sistem operasi tertentu pula, Virtual PC ibarat mimpi yang jadi kenyataan. “Ini tentu akan sangat praktis dan meningkatkan efisiensi,” ujar seorang pejabat Connectix.

Keandalan teknologi Virtual PC terutama terletak pada kemampuannya dalam proses integrasi lintas-platform (cross-platform integration), migrasi aplikasi sebelumnya (legacy application migration), dan konsolidasi server. Virtual PC untuk Windows, misalnya, memungkinkan pengguna menciptakan sejumlah mesin maya (virtual machine) terpisah di desktop Windows yang berfungsi sebagai host. Masing-masing mesin virtual akan menampilkan sistem hardware komplet–dari prosesor hingga card jaringan–dalam format tersendiri dan di lingkungan software yang terpisah. Paket ini bisa menjalankan XP, 2000, NT, 98, 95, 3.1, bahkan DOS, OS/2, Netware, atau Linux pada saat bersamaan tanpa perlu reboot (menghidupkan komputer kembali) untuk mengaktifkan masing- masing sistem operasi itu.

Paket Virtual PC untuk Mac mampu menghadirkan PC kompatibel yang memungkinkan Mac menjalankan aplikasi Windows, mengakses jaringan PC, menggunakan aplikasi internet khusus Windows, dan berbagi file dengan rekan- rekan pengguna PC. Aplikasi ini menghadirkan kompatibilitas PC Pentium melalui fasilitas maya yang disebut emulator. “Tak ubahnya seperti menaruh sebuah PC yang powerful ke dalam komputer Mac Anda,” ujar Roy K. McDonald, CEO Connectix. Untuk ini, spesifikasi komputer yang dibutuhkan adalah Pentium 3 atau 4, Windows 2000 atau XP, memori 512 RAM, dan free disc space 3 GB.

Paket lainnya adalah Connectix Virtual Server, yang lebih merupakan solusi bagi kalangan bisnis dalam melakukan konsolidasi server dan manajemen efisiensi terhadap lingkungan dengan sistem operasi beragam (multi-operating system). Virtual Server ini mampu menjalankan sejumlah sistem operasi dalam sebuah server.

Bagi perusahaan korporat, aplikasi buatan Connectix tentu sangat membantu. “Dengan Virtual PC, kami terhindar dari rencana membeli 300 mesin, menyebarkan 700 unit lagi, dan mampu menghemat hampir US$ 1 juta untuk pos hardware dan operasi,” ujar Lenny Goodman, Direktur Desktop Management Baptist Memorial Health Care Corporation.

Dilihat dari kenyataan itu, kekhawatiran bahwa Microsoft akan “membunuh” Connectix agaknya berlebihan. Apalagi Virtual PC tak mematikan sistem operasi yang ada, tapi malah akan tetap mengakomodasinya. “Memang, terlalu dini untuk panik soal akuisisi ini,” kata Zeiler, pengguna fanatik Mac itu, kemudian.

Untuk sementara, boleh dibilang Windows masih menang dalam pertarungannya melawan Macintosh.

Budi Putra

TEMPO Edisi 030316-002/Hal. 60      Rubrik Teknologi Informasi