Bertemu Blogger: Paman Tyo
29, August, 2006
Pengantar: Mulai pekan ini, secara reguler [theGadget!] akan menyajikan tulisan reportase berupa obrolan dengan blogger-blogger Indonesia. Tentu banyak hal yang bisa digali dari mereka: para penikam jejak di ranah blogosfer kita. Selamat mengikuti.
“Blog, buatku, memang sebuah letupan setelah (free) web based e-mail.” -Tyo
DARI beranda lantai dua Bakoel Koffie, ia melambaikan tangannya menyambut kedatangan saya malam itu. Pertemuan yang semula direncanakan di sebuah kafe di Blok M Plaza kemudian dialihkan ke kafe spesialis kopi di kawasan Barito, Jakarta Selatan.
“On the upstair tnp ac krn aku lg kapok kena ac, kulitku kering ngelupas,” demikian isi pesan pendeknya beberapa menit sebelum pertemuan — yang kalau diterjemahkan berarti: “saya lebih suka di ruang di mana saya boleh merokok…”
Meskipun sudah sering berkirim pesan pendek, inilah kali pertama saya bertemu dengan Antyo Rentjoko alias Paman Tyo, salah seorang Blogger Indonesia yang saya kagumi.
Setelah memesan minuman di lantai satu — yang kebetulan saat itu masih sepi pengunjung — saya langsung melesat ke lantai dua.
Ia duduk di meja paling ujung yang berhadapan langsung dengan jendela beranda.
Sebagaimana di lantai satu, pengunjung di lantai dua ini juga masih sepi — maklum masih jam 19.15 WIB.
Posturnya tinggi besar dan kepala plontos. Mengenakan kaos putih dan celana panjang sporty berwarna coklat muda.
Saya menyampaikan salam selamat malam dan apa kabar, tapi ia malah menjawab: “I proud of you,” sebuah kalimat yang mungkin terkait kegiatan ngeblog saya di sebuah media online luar.
Setelah bercerita sedikit tentang beberapa orang senior saya di Tempo yang juga ia kenal baik, Paman Tyo mulai bercerita tentang dunia blog (nah, ini yang saya tunggu-tunggu…).
“Sekarang sebetulnya masih belum bisa ditebak semua ini arahnya mau ke mana. Tapi satu hal, kemunculan software blogging menjadi awal sebuah revolusi ini,” ujarnya. “Blog, buatku, memang sebuah letupan setelah (free) web based e-mail.”
Karenanya, ia sangat gembira betapa blogosfer Indonesia saat ini sudah semakin semarak. Pertumbuhannya cepat dan topik-topiknya pun memikat.
Ia sendiri percaya bahwa pada dasarnya blog adalah media untuk mengekspresikan diri. Artinya, formatnya terserah yang bikin tapi apakah blog tersebut akan diminati dan digemari secara luas, itu soal lain lagi.
Jika ada blog yang menyajikan hal-hal yang spesifik, sistimatis, dan terkadang bisa menjadi rujukan, tentu bagus-bagus saja. Meskipun begitu, “ada blog spesial yang penulisannya lebih longgar tanpa pretensi jadi rujukan.”
Blog, menurut dia, adalah sebuah peluang yang terbuka lebar: di Blog, Anda bisa menjadi penulis andal, kritikus, menjadi tempat bertanya, menjadi sumber informasi, inspirator, motivator, pekerja blog atau apapun. “Semua inilah yang membuat blogosfer jadi meriah,” ulasnya.
Segala kemungkinan bisa bermunculan karena — itu tadi — kita belum bisa menebak semua ini arahnya akan ke mana. “Yang jelas, jika kita sudah ngeblog berarti kita ikut aktif dalam revolusi baru ini.”
Di akhir-akhir obrolan, Pemimpin Redaktif Redaksi Komputer Aktif ini juga sempat jeprat-jepret dengan kamera digitalnya. Sepertinya kamera tersebut selalu ia bawa ke mana-mana.
Obrolan yang produktif dan bernas, menurut saya. Meskipun saya sungguh-sungguh memujinya soal ini tetapi ia justru bilang saya terlalu humble.
Tapi terus-terang ada yang lupa saya tanyakan dan saya baru menyadarinya ketika sudah berada di jalan menuju pulang: kenapa blogombal akhirnya pindah hosting dan bikin domain baru; kenapa blognya tak lagi anonim dan kenapa akhir-akhir ini postingnya cenderung kontemplatif… ah, tapi itu soal lain lagi. [G!]
Gadget Baru: Mylo
10, August, 2006
Wahai para gadgetter, ada kabar baru nih: Sony meluncurkan gadget Wi-Fi untuk pengguna yang tak mau putus dengan Internet.
Gadget yang seukuran PlayStation Portable (PSP) itu diberi nama Mylo, kependekan dari My Life Online. Sony berharap, dengan makin maraknya jaringan nirkabel (wireless fidelity/Wi-Fi) di kampus-kampus, ruang publik, dan di dalam rumah, Mylo menjadi pilihan bagi mereka yang tak bisa terputus dengan Internet, asal terdapat akses Wi-Fi 802.11b.
Mylo diperkirakan mulai tersedia hanya di toko online Sony Amerika Serikat, September mendatang. Harga jualnya sekitar US$ 350 (sekitar Rp 3,2 juta). Menurut analis pasar, ini merupakan produk pertama dari jenis ini yang menggunakan jaringan nirkabel Wi-Fi. Mylo bukan ponsel, dan tak dikenai biaya langganan bulanan. Kalau ingin membuat panggilan telepon, mesti menggunakan fitur telepon via Internet (voice over Internet protocol).
Begitu juga jika mau berkirim surat elektronik pakai saja e-mail yang berbasis web. Tentu saja tidak bisa mendukung program e-mail perusahaan. Memang Mylo disasarkan Sony untuk pasar orang muda berusia 18-24 tahun.
Untuk memberi fitur-fitur komunikasi berbasis Internet yang andal, Sony bermitra dengan Yahoo Inc. dan Google untuk layanan pesan instan. Juga dalam penjajakan kerja sama dengan Time Warner Inc., penyedia pesan instan terkemuka America Online. Untuk layanan telepon via Internet, Sony menggandeng eBay Inc., pemilik layanan VoIP Skype.
Mylo tak sekadar personal communicator, tapi juga pemutar media. Ia dapat memainkan musik digital (format MP3, ATRAC, dan WMA). Selain itu, ia dapat menyimpan serta menayangkan foto (JPEG) dan video (MPEG 4) yang ada di memori flash berkapasitas satu gigabitanya atau kartu Memory Stick yang dijual terpisah. Layar Mylo berupa layar kristal cair berwarna dengan resolusi 320 x 240 piksel dan berukuran diagonal 2,4 inci.
[G!]
Kartu Isi Ulang Satu Tahun
18, July, 2006
Bagi pengguna (dan penggemar) layanan seluler prabayar, segala kerepotan membeli voucher dan melakukan isi ulang adalah hal yang biasa. Tapi kalau dianggap itu sebuah “penderitaan”, salah satu operator GSM di Indonesia, menawarkan voucher yang masa berlakunya satu tahun!
Jakarta — PT Indonesia Satellite Corporation (Indosat) Tbk. meluncurkan kartu pulsa isi ulang yang memiliki masa aktif hingga satu tahun. Kartu ini untuk produk IM3, yang diberi nama Raja Voucher.
Direktur Pemasaran PT Indosat Tbk. Wahyu Wijayadi mengatakan produk ini, selain untuk kenyamanan kepada pelanggan dengan memperpanjang masa aktif, untuk mengurangi persentase kartu yang hangus atau tidak dapat digunakan akibat pelanggan terlambat melakukan isi ulang.
“Hingga Juni lalu, kartu hangus produk Indosat mencapai 12 persen. Dan hingga akhir tahun, kami mentargetkan jumlah itu berkurang menjadi 7 persen,” kata Wahyu kepada pers kemarin.
Dia menjelaskan, di produk baru itu, pelanggan akan mendapatkan bonus lima pesan pendek (SMS) gratis kepada pelanggan Indosat setiap pekan yang bersifat akumulasi.
Tahun ini Indosat mentargetkan mampu meraih tambahan pelanggan 3-4 juta orang dengan pangsa pasar 30 persen. Hingga akhir Juni, jumlah pelanggan Indosat mencapai 14 juta orang dengan pangsa pasar 27 persen. Perinciannya, pelanggan IM3 6 juta orang, Mentari 7 juta, dan Matrix 1 juta orang. l Eko Nopiansyah
[G!]
Bagaimana Cara Berkomunikasi 100 Tahun Mendatang?
10, July, 2006
Perkembangan teknologi telekomunikasi bergulir begitu cepatnya, mulai dari telegram, telepon hingga telepon seluler — dengan berbagai inovasinya. Lalu apa yang akan terjadi, misalnya 100 tahun mendatang? Bagaimanakah kira-kira cara manusia berkomunikasi saat itu?
Izin Operator CDMA akan Ditinjau
4, July, 2006
Pemerintah akan meninjau ulang izin awal telepon tetap nirkabel (fixed wireless access alias FWA) yang diberikan kepada operator telepon berbasis code division multiple access (CDMA). Berarti operator yang dimaksud: Telkom (Flexi), Bakrie Telecom (esia) dan Indosat (StarOne). Mobile-8 (Fren), yang meskipun menggunakan teknologi yang sama, tapi lisensinya sebagai operator seluler (sebagai operator seluler GSM), tentu tidak masuk dalam daftar yang akan ditinjau.
Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil, peninjauan kembali izin awal itu lantaran ada indikasi operator CDMA telah mengubah telepon tetap menjadi seluler. Bahkan, kata dia, operator telah mengakali aturan perizinan dengan memanfaatkan teknologi. Ia mencontohkan, saat pergi ke Bandung, konsumen diberi nomor telepon tetap nirkabel Bandung. Begitu pula saat ke Surabaya, konsumen akan diberi nomor Surabaya. “Kami sedang memikirkan bagaimana mekanisme fixed wireless,” kata Sofyan kepada wartawan di Jakarta.
Namun, ia mengakui pemerintah belum bisa mencabut izin awal operator CDMA yang mengubah telepon tetap nirkabel menjadi seluler. “Secara hukum belum bisa,” ujarnya. (pramono). Koran Tempo, Selasa 4 Juli 2006
Indonesia memang satu-satunya negara yang operator FWA-nya menjual layanan seluler. Sejatinya, lisensi FWA yang mengandalkan teknologi CDMA2000 1x, diperuntukkan untuk menggantikan fixed-phone di daerah-daerah yang sulit yang tidak mungkin dibangun jaringan kabel PSTN-nya. Jadi, dengan tujuan dan skema ini, pastilah operator FWA beroperasi di daerah pedesaan, pegunungan dan pedalaman.
Lain halnya dengan Indonesia. Sejak awal, ketika lisensi FWA diberikan kepada Telkom, pasar pertama dan utamanya justru kota metropolitan Jakarta. Benda dengan handset operator FWA yang ada di pedalaman India atau Afrika (handset rumahan), handset yang ditawarkan Telkom Flexi adalah handset yang benar-benar mobile dan sudah setara ponsel seluler GSM. Layanan yang ditawarkan pun tak ubahnya seperti seluler. Dengan demikian, layanan FWA di Indonesia benar-benar sudah jadi layanan seluler.
Nah, kalau baru sekarang, pemerintah mau menertibkan ini, apakah tidak terlambat? Apanya yang mau ditinjau ulang? Kenapa hal ini tidak diatur sejak awal? Apakah semua handset pengguna Flexi, Esia dan StarOne mau ditarik dan diganti dengan handset rumahan? Apakah operator-operator FWA akan diminta hanya menawarkan layanan panggilan dan SMS, dan melarang layanan unduh nada dering, games, wallpaper dan seterusnya yang merupakan layanan seluler? [G!]
Menelepon dengan Jari
3, July, 2006
Buang headset telepon seluler Anda. Bahkan Anda juga tak perlu sebuah handset. Cukup tempelkan jari ke telinga: dengarlah atau bicaralah dengan orang yang menelepon Anda.
Itulah teknologi ponsel terbaru rancangan NTT DoCoMo, Jepang, yang dinamai Finger Whisper Phone. Pada awalnya prototipe telepon ini dipakai di pergelangan tangan seperti arloji. Namun, pada versi mutakhir seperti yang dipamerkan di ajang CommunicAsia, Singapura tempo hari, alat itu mengecil hingga sebesar cincin (Koran Tempo, 1 Juli 2006).
Media Computing Laboratory, pusat penelitian dan pengembangan DoCoMo, berhasil mengembangkan sebuah prototipe ponsel yang menggunakan anggota tubuh penggunanya sebagai media transmisi suara.
Ponsel ini menggunakan pergelangan tangan sebagai sarana mengkonversi gelombang suara digital menjadi vibrasi melalui tulang pergelangan tangan.
Hasilnya bisa didengar dengan cara mendekatkan jari ke telinga. Jari telunjuk dan jempol yang disentuhkan akan berfungsi sebagai tombol on/off untuk menerima atau mengakhiri panggilan telepon.
Transmisi suara melalui tulang dianggap lebih baik ketimbang melalui udara. Kualitas suara teknologi telepon bergerak terbaru itu diharapkan jauh lebih bagus ketimbang ponsel tradisional: tetap nyaman saat menerima panggilan di tengah kebisingan.
Selain berfungsi mengirim suara melalui pergelangan tangan dan jari ke telinga, metode itu mengkonversi suara pengguna yang dikirim balik melalui jari dan pergelangan tangan, kemudian ditangkap oleh mikrofon di ponsel yang disulap menjadi sebentuk arloji.
Ponsel itu memang sengaja dirancang sepraktis mungkin. Karena berukuran sangat mungil, agar tidak ribet, ponsel itu didesain tak memiliki keypad. Untuk membuat panggilan, pengguna hanya perlu mengucapkan nomor tujuan.
Jadi tibalah saatnya handset diganti dengan fingerset.
Selain orisinal, seperti diungkapkan analis Amanda Akien, ponsel–arloji dan ponsel–cincin ala Negeri Sakura itu itu merupakan “Konsep eksentrik lain yang pernah disumbangkan Jepang untuk Planet ini, setelah sumo, karaoke, sushi, dan geisha“.
Moshi moshi!
Budi Putra
Koran Tempo, 2 Juli 2006 | e-culture
Jam Tangan Bluetooth
3, March, 2006
Terkadang, ponsel Anda masih ngendon dalam tas, atau terselip di kantong jaket tebal, Anda jadi kehilangan panggilan masuk atau telat mengecek pesan pendek. Jangan khawatir, Seiko Instruments di Jepang baru saja memperkenalkan prototipe sebuah arloji Bluetooth.
Arloji ini akan terhubung dengan ponsel Anda dan menampilkan informasi-informasi sepertu status baterai, kekuatan sinyal, caller ID dan bahkan SMS yang masuk. Untuk memastikan Anda siaga akan panggilan masuk, Anda tinggal membuat setting getar atau nada dering khusus di jam tangan canggih ini. Hanya saja, arloji yang harganya belum diumumkan ini tak punya fungsi-fungsi headset. Artinya, begitu panggilan telepon masuk, Anda tetap saja harus mengaduk-aduk isi tas mencari ponsel Anda… Ah, kayaknya gak niat deh bikinnya 🙂 [G!]
:: Lebih lanjut baca Babelfish
Vertu-nya USB Flash…
3, March, 2006
Ada-ada saja. Bukan hanya telepon seluler yang punya versi luks macam Vertu yang berharga sampai Rp300 juta per unit, kini juga ada USB Flash. Media penyimpan sebesar telunjuk yang dilapisi 14 karat emas dan diberi aksen lima biji berlian ini dijual seharga Rp35 juta. Untuk tahap pertama, baru dipasarkan di Uni Emirat Arab, negerinya para Sheikh yang kaya raya.
Dibuat oleh White Lake dengan dukungan perajin emas Belanda, Erwin de Vroome, kapasitas flash ini maksimal 1 GB – gak ada apa-apanya kan? Yang penting, tongkrongan dan gengsinya. “Produk ini membuka pasar baru bagi kami,” ujar pemilik White Lake, Rob van Berkom dalam sebuah pernyataan resminya. Flash emas ini akan dipamerkan di arena CeBIT 9 Maret mendatang di Hannover, Jerman. Berminat? [G!]
Lebih lanjut baca Extremetech
Headphone Dolby Stereo
1, March, 2006
Perusahaan Korea, Waveon, merilis headphone USB, AON MCH-501U, yang bisa menangani surround sound Dolby dan DTS 7.1. Caranya menarik daya sangat nyaman, yakni lewat koneksi USB, sehingga tak perlu ada rongga pasokan daya. Jika suara yang masuk kompatibel, penggunanya akan bisa menikmati suara 7.1 secara total tanpa harus membeli kartu suara (sound card) khusus. Belum diumumkan resmi, namun ada yang memperkirakan, headphone ini akan dibanderol seharga 90 dolar.
Pentingnya Edukasi Teknologi
25, February, 2006
SEORANG bapak, dengan sedikit terengah-engah, menghampiri toko telepon seluler. “Saya mau membeli ponsel,” ujarnya.
“Boleh, Pak, silakan pilih,” sahut si penjaga toko dengan ramah. “Mau merek apa, Pak? Seri apa?”
“Terserah, pokoknya yang paling mahal,” jawab si bapak sumringah. “Yang mahal pasti bagus kan?”
Pria yang menjaga toko itu mengeluarkan sebuah model ponsel. “Kartunya sudah punya, Pak?” kartunya.
“Belum. Sama kartunya sekalian.”
“Di tempat Bapak ada sinyal nggak?”
“Nggak tahu. Ya sudah, sama sinyalnya sekalian!”
Peristiwa yang diceritakan rekan saya itu boleh jadi memang nyata, atau sekadar anekdot. Tapi pesannya jelas: edukasi terhadap teknologi bukan suatu hal yang bisa ditawar-tawar lagi.
Sebuah produk teknologi tak akan mencapai targetnya jika masyarakat yang sedang disasar itu masih belum paham, padahal mereka (merasa) membutuhkannya.
Contoh paling dekat: teknologi telepon seluler. Teknologi yang satu ini sesungguhnya terbilang cepat dan berhasil melakukan penetrasi di kalangan masyarakat.
Lihat saja, dalam waktu relatif singkat, penggunaan ponsel sudah makin meluas. Ponsel tidak lagi sekadar perangkat teknologi untuk kalangan tertentu, misalnya kalangan bisnis atau profesional, tapi sudah menembus kalangan lain yang lebih luas.
Tapi seberapa besar kualitas penggunaan teknologi tersebut di kalangan masyarakat?
Adakah mereka menggunakan ponsel tak sekadar panggilan suara atau SMS? Seberapa banyak pengguna ponsel yang bisa melakukan setelan GPRS/MMS sendiri?
Kalau belum, masalah ini merupakan “pekerjaan rumah” penting bagi penyelenggara teknologi komunikasi bergerak ini, baik itu operator maupun vendor ponsel.
Pertanyaannya, seberapa intens mereka melakukan edukasi terhadap pengguna teknologi ini? Seberapa sering mereka melakukan sosialisasi tentang bagaimana memaksimalkan penggunaan ponsel bagi pedagang dan petani misalnya?
Padahal, upaya ini pastilah cukup strategis. Program edukasi ini tidak hanya berguna bagi pengguna yang sudah ada (existing user) tapi juga akan menggerakkan para calon pengguna (expecting user) untuk bergabung.
Bukankah pangsa pasar layanan seluler masih terbuka lebar? Jika saat ini pengguna layanan GSM di Indonesia sudah mencapai lebih 30 juta orang dan 5 juta pengguna layanan CDMA, tentulah angka itu masih sangat kecil dibanding jumlah penduduk negeri ini.
Pertumbuhan jumlah pengguna harus digenjot dengan berbagai strategi: tidak hanya dengan strategi pemasaran, tapi juga strategi edukasi yang komprehensif.
Artinya, operator jangan hanya sibuk perang diskon layanan dan vendor asyik menjajakan ponsel hemat, tapi juga harus menyempatkan diri mendekati masyarakat dan menunjukkan pada mereka betapa teknologi ini sangat membantu.
Bahasa yang digunakan mestinya juga bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat awam. Mestinya, masyarakat jangan hanya disuruh membeli layanan yang murah, tanpa diberi tahu apa manfaatnya bagi mereka.
Saya percaya, jika mereka diberikan kesempatan untuk sedikit belajar sehingga yakin teknologi ini berguna dan dapat mempermudah pekerjaannya, mereka tidak akan ragu-ragu membeli.
Artinya, dari segi kemampuan ekonomi, rata-rata masyarakat boleh dikatakan sudah cukup lumayan. Masih ingat enam-tujuh tahun lalu ketika Indonesia dilanda krisis, kita melihat betapa dinamika ekonomi rakyat, terutama di daerah pinggiran dan pedesaan, sama sekali tak terpengaruh?
Yang penting, beri tahu dan cerdaskan mereka dulu, baru kemudian tunggu bagaimana responsnya. Mereka akan bergegas mengambil manfaat dari perangkat telekomunikasi ini.
Saya percaya tak akan ada lagi orang yang membeli ponsel dan kartu SIM, tapi juga ingin memborong sinyalnya sekalian.***(041219-ec-kt)