Bernaung di Rumah Digital

28, August, 2005

“SELAMAT datang di rumah masa depan,” sambut robot yang bertugas sebagai protokoler begitu tamu memasuki rumah. “Apa pun kebutuhan Anda, segera komunikasikan dengan jaringan yang ada di rumah ini. Semoga kunjungan Anda menyenangkan.”

Desain interior rumah istimewa ini merupakan paduan karakter rumah tradisional Jepang yang diperkaya dengan aksen-aksen futuristik.

Di rumah itu terdapat sebuah kamar khusus berukuran 4 x 3 meter yang berfungsi sebagai ruang kontak. Di sini seorang anggota keluarga bisa berkomunikasi secara virtual dengan anggota keluarga yang sedang berada di luar di depan layar LCD (liquid crystal display), yang berfungsi menampilkan wajah lawan bicara.

Di seberang ruang keluarga, yang dilengkapi tempat duduk melingkar ala teater yang sedikit lebih tinggi dari lantai, terdapat sebuah meja keluarga multifungsi.

Yang menarik adalah permukaan meja metalik ini. Terbuat dari bahan kristal yang dilengkapi LCD, tampilan grafis di atas meja itu menunjukkan identitas dan posisi setiap anggota keluarga.

Dengan menggunakan remote control virtual, sang ibu bisa meminta kurir digital yang khusus ditugaskan jadi asistennya. Misalnya, si ibu bisa meminta sang kurir jadi penasihat liburan akhir pekannya.

Sumimasen — maaf, Nyonya,” terdengar suara penasihat digital, “mau libur ke mana?” Si ibu menjawab Hawaii. Dalam orde detik, di layar muncul sejumlah pilihan jadwal penerbangan, akomodasi, dan jenis makanan yang diinginkan.

Si ibu segera menetapkan pilihannya dan seketika kurir digital langsung mereservasi tiket dan akomodasinya secara online. “Semuanya beres, Nyonya. Tapi masih ada satu masalah lagi. Paspor nyonya akan kedaluwarsa dua pekan lagi, jadi saya akan segera memperpanjangnya.”

Rumah masa depan atau disebut home information infrastructure (HII) itu terdapat di Living Plaza, Lantai 4, Panasonic Center, Tokyo, Jepang, yang saya kunjungi beberapa waktu lalu.

Pekan ini rumah digital kembali jadi pembicaraan. Dari arena Intel Developer Forum di San Francisco terbetik kabar bahwa Intel Corporation akan memperkenalkan teknologi Intel Viiv yang didesain untuk rumah digital.

Dukungan teknologi semacam ini tentu akan mendorong produksi dan rancang rumah digital secara luas.

Sepertinya rumah digital bukan lagi impian atau hanya sekadar prototipe buat dipamerkan. Siapa yang tertarik, sudah bisa membuat ancang-ancangnya dari sekarang. — Koran Tempo, 28/08/2005

“Hari gini harga handphone tujuh jutaan? HP saya cuma Rp300 ribu udah bisa nelpon ke India segala. Apa HP juta-jutaan itu bisa nelpon ke surga?”

Celutukan rekan yang sudah senior itu memang membuat saya tergelak. Lucu dan orisinil.

Boleh jadi pendapat semacam itu terlontar karena ia sedang bercanda atau sebaliknya: rendahnya apresiasi terhadap teknologi. Beginilah pandangan seseorang dari generasi yang berbeda mengenai teknologi: sangat “memilukan”.

Ia benar: kalau cuma buat menelepon buat apa beli telepon seluler mahal-mahal? Toh menggunakan telepon rumah juga bisa, dan tarif pulsanya juga lebih murah.

Tapi kalau di ponsel orang juga bisa melakukan banyak aktifitas, tentu ceritanya jadi lain. Komunikasi suara hanya salah satu dari puluhan fungsi yang bisa dilakukan pada sebuah ponsel pada saat jalan alias tidak di kantor.

Sebut saja membaca dan mengirim surat elektronik (e-mail), mengakses Internet untuk menyimak berita CNN.com atau mencari bahan penelitian lewat Google, mengunduh (download) materi presentasi PowerPoint dan white paper dalam format Word.

Selain itu, pengguna ponsel juga bisa membaca buku elektronik (e-book), membuka dokumen PDF, memantau pergerakan saham, menyimpan, memutar file musik, merekam, memutar dan bahkan menyunting video.

Bisa melakukan semua itu pada sebuah perangkat genggam seperti ponsel pada saat mobile jelas merupakan sesuatu yang sangat berharga.

Pekerjaan kantor, kuliah, penelitian atau pun urusan bisnis tetap bisa dilakukan pada saat kita berada di mal, duduk di mobil atau sedang menunggu penerbangan di bandara.

Pada awalnya memilih ponsel memang sangat dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi konsumen. Makanya untuk segmen umum vendor-vendor merilis ponsel-ponsel murah meriah (entry level). Segmen ini hanya membutuhkan ponsel buat menelepon dan mengirim SMS.

Segmen menengah juga punya sederet pilihan. Umumnya fitur-fitur ponsel di segmen ini mulai memperkenalkan beberapa opsi yang agak canggih yang sekaligus mengedukasi pengguna yang suatu saat akan “naik kelas” ke segmen yang lebih tinggi.

Di kelas yang paling tinggi (high-end), fitur yang digdaya (powerful), serba ada dan serba bisa menjadi andalan. Tentunya harganya lebih mahal karena memang targetnya adalah kalangan bisnis dan profesional di mana “uang bukan masalah”.

Masalahnya, untuk segmen kelas atas, tentu bukan sekadar uang. Yang menjadi alasan dalam menentukan pilihan adalah adalah kebutuhan dan cita-rasa. Bahkan bagi komunitas ini, ponsel juga dijadikan salah satu pernik dalam bergaya.

Itulah sebabnya mengapa setiap ponsel dibuat berbeda. Ponsel yang dibuat berdasarkan perbedaan segmen. Ponsel high-end misalnya memang tidak dimaksudkan untuk dibeli oleh kalangan umum yang memiliki kemampuan ekonomi rendah dan tidak memiliki kebutuhan yang tinggi terhadap teknologi mobile.

Bahkan, ponsel high end sendiri pun juga dibuat berbeda. Ada yang punya bluetooth, kamera, tapi juga ada yang tidak; Ada yang menggunakan layar sentuh, ada pula yang tidak; Ada yang menggunakan keypad QWERTY; Ada yang bisa koneksi Wi-Fi dan ada yang tidak.

Seorang rekan pernah bertanya dalam sebuah jumpa pers peluncuran produk Nokia: “Kenapa fitur Nokia 9300 tidak dibikin sama saja dengan Nokia Communicator 9500 yang punya kamera dan bisa Wi-Fi?”

Jawaban Kendro Hendra, salah seorang mitra Nokia, sangat mengena: “Tidak mungkin semua ponsel sama. Semua tergantung kebutuhan. Sama saja dengan baju yang kita kenakan. Apakah semua baju kita berlengan panjang, pakai kerah dan pakai saku? Pasti ada juga dong yang lebih suka mengenakan baju berlengan pendek atau pakai t-shirt.” –Koran Tempo, 06/02/2005

Kantor Nol Kilometer

26, August, 2005

MAU terhindar dari jalanan macet yang menjengkelkan? Mau terhindar dari deru dan debu kendaraan bermotor yang berseliweran di jalan? Mau tetap bekerja tanpa harus buru-buru berangkat kerja setiap pagi?

Ada solusi yang layak dipertimbangan untuk dicoba: menjalankan bisnis sendiri di rumah. Istilah kerennya SOHO (small office home office).

Konsepnya sederhana: bagaimana menjalankan sebuah perusahaan, perusahaan kecil tentunya, di rumah. Sebagian besar waktu Anda di rumah, tetapi pendapatan tetap terjaga.

Selalu di rumah tak selalu berarti menganggur. Ya, rumahlah yang dijadikan kantor. Pemilik usaha ini tinggal melengkapi usahanya dengan perangkat teknologi yang kini bisa didapatkan dengan harga yang kompetitif tetapi tetap memiliki kemampuan yang andal.

Di negara-negara maju, bisnis SOHO sudah menjadi hal yang biasa. Di Indonesia, beberapa kisah sukses sudah sering kita baca di media. Artinya, sekarang, di mana saja di berbagai belahan dunia, merancang SOHO bukan lagi sesuatu yang sulit dijangkau.

Semua itu dimungkinkan berkat terjadinya pergeseran paradigma dalam bekerja. Kemajuan teknologi informasi (TI) yang diprimadonai Internet yang menjadi lokomotifnya.

“Sebuah paradigma yang mungkin sulit untuk dihayati bagi sebagian besar profesional di Indonesia,” ungkap Onno W. Purbo, pakar TI yang juga seorang outsourcer proyek-proyek TI dari berbagai negara.

“Seorang profesional TI bekerja di rumah, tanpa memiliki perusahaan, tanpa bekerja di perusahaan atau konsultan manapun, tanpa bekerja pada siapapun — benar-benar sendiri saja,” ulasnya.

Ia mencontohkan, sebagai karyawan di era cyber seperti sekarang ini, seseorang tidak perlu secara fisik duduk di kantor berjam-jam. Pasalnya, hanya dengan ponsel dan laptop, seseorang bisa mengakses data, e-mail, fax, voice mail di mana pun ia berada.

Bahkan di beberapa perusahaan, para stafnya cukup berkumpul sekali atau dua kali dalam seminggu mengkuti rapat. Selain itu, pertemuan juga dapat dilakukan secara jarak jauh, misalnya melalui conference call multi party dengan harga yang terjangkau.

Jika perusahaan-perusahaan besar saja sudah mencoba mengoptimalkan pertemuan virtual yang memang sangat efisien, mengapa bisnis rumahan dan usaha kecil menengah tidak memanfaatkan momen ini dengan baik?

Pada era sekarang ini, bukanlah yang besar yang berhasil, tapi yang cepat. Dan untuk melakukan sesuatu yang cepat dan tepat itu sejatinya bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk oleh SOHO.

Memang tidak semua bidang bisa di-SOHO-kan. Usaha-usaha yang lazim dikerjakan dalam format SOHO adalah pekerjaan yang berkaitan dengan konsultasi, jasa bekerja jarak jauh, penerjemahan, penulisan naskah, desain grafis, tutorial, dan jasa-jasa yang terkait TI.

Namun, yang namanya bisnis, apakah itu berskala besar, menengah ataupun SOHO, intinya tetap sama: profesionalisme tetap nomor satu. Yang berubah hanyalah media dan model pengelolaannya.

Pola promosi dan pemasaran bisa dilakukan melalui mailing list maupun dengan memajangnya di situs web sendiri. Jadi silahkan dipajang portopolio yang sudah dan sedang dikerjakan di situs web milik sendiri.

SOHO memang sebuah peluang yang cukup terbuka, asalkan si penggagas mampu memilih jenis usahanya dengan cermat, mampu mengkalkulasi peluangnya dengan baik dan pintar mengkapitalisasi jaringan yang sudah ada.

Meski semua ini tak bisa dikatakan mudah untuk dilakukan, tapi keberhasilannya juga bukan sesuatu yang mustahil.

Yang jelas, inilah kesempatan untuk menikmati kantor yang jaraknya hanya “nol kilometer” dari rumah sendiri. Anda tetap bekerja sambil tetap bercengkrama dengan keluarga di rumah.

Sebuah romantisme zaman digital yang tak terbayangkan sebelumnya.

–Koran Tempo, 13/02/2005

SEBUAH kabar buruk bagi pemalsu uang: sebagian besar transaksi keuangan dan perdagangan di masa datang tidak lagi mengandalkan uang fisik.

Semuanya akan berlangsung serba digital dan bergerak. Bahkan orang akan jarang sekali membawa-bawa duit, menaruhnya dalam dompet atau saku.

Sebagian besar uang kontan akan lebih sering tersimpan rapi dalam brankas bank ketimbang malang-melintang berpindah tangan.

Yang terakhir ini lebih kerap membuat lembaran-lembaran uang jadi lecek dan bahkan berperan sebagai pengantar bakteri yang lumayan efektif.

Seringnya bertransaksi menggunakan kartu kredit atau kartu debit setidaknya akan menghindari konsumen dari kemungkinan mendapatkan uang palsu dari kembalian. Jangan lupa, menurut Bank Indonesia, saat ini telah beredar setidaknya 24 ribu lembar uang palsu (Koran Tempo, 17/2).

Penggunaan kartu juga akan membuat konsumen terhindar dari kemungkinan menerima kembalian yang sering dikonversi dalam bentuk permen. Kembalian dalam bentuk permen ini memang nilainya sangat kecil, tapi cukup menjengkelkan. Sejak kapan, sih permen bisa dijadikan alat tukar?

Selain itu, tentu saja, untuk menghindari besarnya risiko kena copet atau ditodong. Jika yang dicopet adalah kartu-kartu plastik keluaran bank, tentu dampaknya jauh lebih kecil karena kita bisa segera memberi tahu pihak bank agar segera memblokirnya.

Namun, tidak hanya kartu plastik yang bisa dijadikan sebagai alat pembayaran. Ponsel yang menampilkan barcode berisi informasi rekening bank seseorang, ternyata memiliki fungsi yang sama.

Perubahan karakter konsumen, beragam jenis kebutuhan dan tuntutan akan mobilitas dan digitalisasi, membuat institusi perbankan berlomba-lomba beradaptasi.

Bahkan, daripada kepalang tanggung, mereka juga menawarkan solusi perbankan masa depan dengan pendekatan yang lebih profesional dan personal.

Pendeknya, bank di masa depan bukan lagi bank yang setiap hari diwarnai antrean panjang nasabahnya. Bukan lagi bank yang karyawannya harus selalu siaga melayani pelanggan. Juga bukan lagi bank yang setiap Sabtu dan Minggu tidak beroperasi.

Bank di masa depan adalah bank yang bekerja 24 jam sehari, tujuh hari dalam seminggu. Yang melayani bukan lagi karyawan yang harus diatur shift siang dan malam. Tapi cukup dilayani dengan mesin, server, dan jaringan.

Yang justru masih tetap dinamis adalah satu-dua orang petugas yang nongkrong di sejumlah lokasi strategis dengan komputer di depannya plus perangkat-perangkat teknologi lainnya. Inilah yang disebut dengan mobile branch, kantor cabang yang bergerak.

Sebuah lokasi dinilai strategis untuk aktivitas mobile bank jika di tempat itu tersedia akses Internet nirkabel berpita lebar alias hot-spot. Bandara, mal, hotel, dan gedung perkantoran akan menjadi tempat favorit bagi aktivitas ini.

Jadi nasabah bank mana pun akan dengan mudah mengakses rekeningnya lewat gerai bank digital semacam itu. Urusan perbankan bisa tetap jalan tanpa harus datang secara fisik ke kantor bank, apalagi kantornya berada di negara yang jauh.

Jika selama ini para nasabah yang datang ke bank, ke depan, banklah yang akan mendekati nasabahnya. Artinya, kendali memang sepenuhnya di tangan nasabah.
Bukankah ini berarti setiap orang seolah punya bank sendiri yang setia setiap saat mengurusi rekening hingga memberi advis-advis investasi dan asuransi?

Di tengah gemuruh kemajuan dan kecanggihan teknologi, uang akan menjadi makhluk yang kesepian dan harus rela tidur panjang di brankas-brankas bank yang dingin dan gelap. –Koran Tempo, 20/02/2005

ADA sebuah kutipan menarik soal apa itu teknologi bergerak. “Anda lihat kuda saya?” ujar Romeo, lelaki setengah baya, seorang sais bendi wisata di pusat kota Roma kepada majalah BREW Connection edisi musim gugur 2004. “Kuda adalah contoh yang baik mengenai mobilitas ketimbang sebuah telepon seluler!”

Persepsi yang berbeda mengenai teknologi yang sama adalah hal yang lumrah, dan sangat tergantung pada perspektif yang digunakan.

Bagi orang tertentu, ponsel tak lebih dari sekadar sebuah telepon yang biasanya ada di rumah, tapi kini bisa dibawa-bawa. Kelompok ini hanya menggunakan telepon seluler hanya untuk menelepon, bahkan terkadang membalas layanan pesan singkat (SMS) pun masih kagok.

Jadi tak usah bicara soal GPRS, LBS, Bluetooth, infrared atau Wi-Fi kepada kelompok ini. Paling mereka akan menjawab: “Buat apa? Bisa dipake buat menelepon nggak?”

Sementara bagi kalangan profesional, fitur-fitur di ponsel menjadi amat penting dan signifikan. Mereka sangat peduli dan antusias soal fitur-fitur baru yang menawarkan kemudahan. Mobilitas dan nirkabelitas menjadi kebutuhan yang tak bisa ditawar-tawar dari mereka.

Tapi, tunggu dulu. Apa iya seluruh kalangan profesional yang menjadi pengguna layanan seluler benar-benar serius dan antusias menggunakan fasilitas di ponselnya? Seberapa banyak dari kalangan ini benar-benar memanfaatkan seluruh fitur yang ada di ponselnya?

Seberapa banyak dari mereka yang benar-benar menggunakan fitur manajemen informasi personal (PIM) yang selalu ada pada semua ponsel kelas atas (high-end) — apalagi sekaliber smartphone?

Bisakah mereka mengoperasikan bagaimana mencetak dokumen dari ponsel ke printer? Adakah mereka membuat back-up buku alamat di ponselnya ke PC jadi kalau suatu saat ponsel rusak atau hilang, alamat-alamat penting tetap bisa diselamatkan?

Suatu ketika seorang sejawat yang bekerja di industri telekomunikasi bercerita kepada saya. Ia berkisah, ada seorang eksekutif yang dia kenal yang pada awalnya sangat senang dengan layanan pantau semacam location-based services.

Ia langsung mendaftarkan nomer ponsel anggota keluarganya, termasuk nomer ponselnya. Dengan layanan ini ia bisa dengan gampang memantau keberadaan anaknya, bisa tahu apakah istrinya sudah pulang belanja atau belum. Semuanya lancar-lancar saja.

Tapi “masalah” baru muncul – begitu si eksekutif bersangkutan mengistilahkannya – ketika ia menyadari bahwa sang istri juga begitu mudah memantaunya.

Kontan ia mulai merasa tak nyaman. Kemudian ia menelepon operator layanan ini untuk mengusulkan perubahan deskripsi lokasi. “Halo pak, saya mau ngasih usul nih,” ujarnya kepada petugas operator. “Bisakah deskripsi lokasi untuk daerah tertentu diganti saja? Untuk hotel X diubah menjadi Plaza Y saja yang memang berdekatan? Untuk club Z jadi gedung pertemuan Q yang memang tak berjauhan?”

Kalau sudah begini tentu repot jadinya. Pihak operator tentulah tidak mau begitu saja menerima usul semacam itu. Bagaimanapun layanan ini dibuat untuk membantu menemukan lokasi keberadaan si pengguna dengan tingkat akurasi dan presisi yang makin tajam.

Jadi kalau diubah-ubah semaunya, jelas akan merepotkan pengguna lain yang memang serius ingin memantau keberadaan anggota keluarganya.

Terus, bagaimana reaksi si eksekutif ketika operator tersebut tak bisa memenuhi permitaannya? “Tak rumit-rumit, ia langsung minta dikeluarkan dari layanan tersebut, dengan alasan sudah ganti nomer baru,” sahut sejawat saya itu. “Tentu, ia tak akan mau lagi mendaftarkan nomor barunya itu,” sambungnya tertawa.

Pengguna teknologi bergerak seperti eksekutif tersebut sepertinya lebih setuju bahwa kuda adalah contoh yang baik soal mobilitas, dan bukannya telepon seluler: bagi dia teknologi hanya bikin repot saja! –Koran Tempo, 27/02/2005

BETULKAH di masa datang ke kantor tidak diperlukan lagi? Betulkah pertemuan secara fisik antara karyawan akan semakin berkurang?

Sejak lima tahun terakhir sejumlah perusahaan besar sudah mulai mengakomodasi konsep mobilitas di mana karyawannya tidak selalu harus datang ke kantor.

Tentu sangat bergantung pada jenis usaha dan pekerjaannya juga. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang mengharuskan sebagian karyawannya menghabiskan lebih banyak waktu di lapangan, gagasan mengenai waktu yang fleksibel tentu menjadi sangat relevan dan signifikan.

Tapi tentu tidak semua karyawan memiliki jenis tugas yang sama. Misalnya ada karyawan yang lebih banyak mengurusi pekerjaan kantoran — tentu tidak bisa disamakan dengan mereka yang mobile.

Lalu bagaimana mengakomodasi keduanya? IBM menawarkan solusi menarik. Perusahaan teknologi informasi terkemuka ini menawarkan dua opsi: memilih jadi karyawan bergerak (mobile employees) atau karyawan yang bisa bekerja jarak jauh (telecommuting).

Sistem ini diterapkan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi. Karenanya, setiap karyawan akan dibekali dengan komputer notebook yang komplet dan perusahaan menyediakan infrastrukturnya.

Pilihan pertama ditawarkan kepada karyawan yang karena tugasnya lebih sering bertemu pelanggan dan klien di lapangan, sehingga sangat tidak efisien kalau mereka harus datang lagi ke kantor.

Pilihan kedua ditujukan kepada karyawan kantoran yang tetap bisa mengerjakan tugasnya di rumah pada waktu-waktu tertentu.

Keuntungannya jelas: karyawan bisa fleksibel mengatur waktunya, intensitas pertemuan dengan pelanggan bisa lebih tinggi dan tugas-tugas yang dikerjakan di rumah bisa cepat selesai.

Perusahaan sendiri akan mendapati para karyawannya yang produktif dan termotivasi. Belum lagi penghematan dari segi operasional dan ruang kantor.

Memang, bagi perusahaan yang sudah maju, output jauh lebih penting ketimbang proses yang panjang dan kaku.

Di perusahaan-perusahaan konvensional, mengisi absen di kantor masih menjadi kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar.

Bahkan tetap berlaku bagi karyawannya yang sering di lapangan, tapi tetap harus tergopoh-gopoh menembus kemacetan hanya karena diwajibkan datang ke kantor.

Apalagi diperparah pula oleh budaya perusahaan yang masih konservatif: sang bos akan marah jika tidak melihat bawahannya nongol di kantor: absensi wajah menjadi krusial.

Belum lagi karena infrastrukturnya sangat tidak memungkinkan untuk bekerja jarak jauh, sehingga karyawan-karyawan yang sekalipun layak bekerja jarak jauh hanya bisa gigit jari.

Padahal teknologi saat ini sudah memungkinkan perusahaan manapun bisa menawarkan opsi mobile dan telecommuting kepada karyawannya — tentu dengan format dan intensitas sesuai kebutuhan masing-masing.

Fasilitas webhosting yang kini menjamur ditawarkan bisa disulap menjadi intranet perusahaan di mana setiap karyawan bisa login untuk mengirimkan data, mengambil dokumen atau mengajukan klaim biaya operasional.

Ketimbang melarang-larang karyawan yang hobi chatting, layanan macam Yahoo atau MSN Messenger sesungguhnya bisa dioptimalkan perusahaan untuk menjalin komunikasi dengan karyawannya yang berada di berbagai tempat untuk keperluan-keperluan produktif.

Atau yang lebih maju lagi, perusahaan bersedia membekali karyawannya dengan notebook, smartphone, PDA atau Blackberry untuk memudahkan koneksi ke internet.

Mulai memikirkan bagaimana merancang format bekerja jarak jauh bagi karyawan, jauh lebih penting bagi sebuah perusahaan ketimbang menghabiskan waktu dan tenaga menyelidiki karyawan yang sering absen atau lupa mengisi daftar hadir.

Come on. Bukankah kemajuan teknologi seperti sekarang adalah sebuah peluang?

–Koran Tempo, 6/03/2005

PERKEMBANGAN teknologi yang amat cepat memang membuat sebagian orang
terkaget-kaget. Terutama bagi yang memiliki keyakinan bahwa kemajuan teknologi tak akan banyak membantu, kabar-kabar mutakhir soal teknologi paling ditanggapi dingin: “Paling orang kembali ke yang lama. Soalnya teknologi baru biasanya rumit dan mahal.”

Yang paling sering jadi sorotan kalangan ini adalah perkembangan telepon
seluler yang kian hari memang kian menjadi-jadi. “Telepon seluler ya tetaplah sebuah telepon. Buat apa beli mahal-mahal?” begitu tanggapan seorang rekan yang berasal dari “mazhab” ini.

Ketika ada ponsel yang juga memiliki fasilitas radio, dia berkomentar, “Lebih baik beli radio aja, Rp 20 ribu aja sudah bagus. Apa dengan radio yang ada di ponsel mahal, informasi yang kita terima lebih banyak?”

Begitu juga ketika muncul ponsel yang bisa menayangkan klip video, rekan ini langsung sengit: “Apa enaknya menikmati video dengan layar sebesar korek api ini? Paling hanya membuat mata jadi sakit!”

Reaksi yang sama juga muncul ketika beberapa merek ponsel memiliki fasilitas kamera digital. “Ah, apa pula ini? Mending beli kamera digital aja, megapikselnya lebih gede,” ujarnya.

Malah, soal kamera digital pun, ia masih memberi sebuah catatan khusus: “Secanggih apapun kamera digital, nggak bakalan mengalahkan kamera analog. Fotografer sejati pasti akan tetap membutuhkan kamera analog.”

Tapi, menurut dia, setidaknya bagi pemula, kamera digital sudah sangat
lumayan. “Paling tidak, tidak sejelek ponsel kameralah,” ulasnya.

Ia memang benar dalam satu hal. Saat perdebatan ini terjadi setahun lalu, ponsel berkamera yang beredar di Indonesia masih berkualitas seadanya: masih VGA dengan resolusi baru sekitar 6000-an warna. Terlihat kasar dan tak meyakinkan.

Namun saya katakan, di luar negeri saat itu sudah beredar ponsel-ponsel kamera dengan kualitas gambar megapiksel. Tapi ia tetap ngotot: “Tapi saya yakin ponsel kamera tidak akan mengalahkan kamera digital!”

Saya bilang semua itu tinggal menunggu waktu saja. Saya bilang, kamera digital tidak memiliki fasilitas-fasilitas lain yang bisa dimanfaatkan penggunanya.

Lain halnya dengan telepon genggam. Semuanya ada di situ: telepon, e-mail, fax, pengolah kata, presentasi, pemutar musik, pemutar video, kamera digital dan perekam video, pengelolaan manajemen pribadi, daftar alamat, dan seterusnya.

Berbeda dengan kamera yang tidak mungkin selalu dibawa-bawa — kecuali para fotografer sejati — setiap orang pasti akan selalu membawa ponselnya. Sebab kini nomer ponsel sudah identik dengan identitas seseorang.

Artinya, orang bisa melakukan banyak hal dengan ponselnya, termasuk
mengabadikan momen-momen kenangannya menjadi foto. Termasuk momen-momen yang langka yang boleh jadi akan luput: karena orang tak mungkin selalu membawa kamera.

Sekarang, terbukti ponsel-ponsel kamera sangat digemari. Di Indonesia, saat ini ponsel-ponsel kamera 1 megapiksel sudah menjadi hal yang biasa.

Berbagi foto menjadi keasyikan tersendiri, baik yang dikirim melalui pesan multimedia maupun dengan koneksi nirkabel murah meriah macam Bluetooth.

Argumentasi ini didukung pula oleh fakta yang tak terbantahkan: Angka
penjualan ponsel kamera di dunia sudah jauh meninggalkan kamera digital.
Seorang rekan praktisi di industri seluler bilang, tiga dari empat foto
digital saat ini diambil dari ponsel.

Kabar teranyar dari arena CeBIT di Hannover, Jerman, pekan ini soal sudah munculnya ponsel kamera 7 megapiksel, tentu semakin melengkapi kedigdayaan teknologi seluler dalam pertarungan bisnis dan industri digital.

Ponsel kamera 7 megapiksel? Wow! Kamera digital yang saat ini saja banyak dijual di pasaran — yang diperuntukkan bagi penggemar fotografi pemula -umumnya hanya memiliki kemampuan 3-4 megapiksel.

Selamat tinggal kamera digital!

–Koran Tempo, 13/03/2005

APA kabar telepon tetap? Di saat boom telepon seluler seperti yang terjadi ini, telepon kabel seolah-olah sudah ditelan waktu. Telepon rumahan dan kantoran yang lima tahun lalu suka melenggang sendiri — dan juga sering melengos saking sombongnya — kini seolah tak berkutik.

Lihat saja angka pertumbuhannya yang tak beringsut-ingsut. Pelanggannya hanya 8,5 juta atau katakanlah 9 juta sebagai angka yang optimis. Bandingkan dengan pelanggan seluler yang diperkirakan sudah hampir 30 juta orang — yang bisa dicapai hanya dalam waktu relatif singkat.

Lalu, apanya yang salah? Meski orang sudah punya ponsel, bukankah mereka masih butuh telepon tetap di rumah atau di kantornya? Mengapa segmen yang masih sangat besar ini (kini baru 9 juta berbanding 220 juta penduduk Indonesia) tidak tersentuh oleh layanan telepon tetap?

Yang jelas, penyelenggara telepon tetap ini, Telkom, sedang asyik berjualan produknya yang lain, yakni layanan komunikasi yang menggunakan teknologi CDMA 2000 1x dengan nama Flexi. Layanan telepon lokal yang bisa dibawa bergerak. Promosinya jor-joran, malah sejumlah boks telepon umum di pinggir jalan juga dicat menggunakan warna dan citra Flexi segala.

Seorang teman pernah cerita, suatu kali ia datang ke kantor Telkom meminta sambungan telepon tetap di rumahnya. Jawaban petugas di sana menarik sekali: “Wah prosesnya lama, Mas. Belum lagi ketersediaan sambungannya apakah ada atau tidak. Mending pake Flexi saja, tarifnya sama, bisa ditaruh di rumah, dan langsung kring!”

Ini betul-betul memprihatinkan. Bayangkan, uang yang sudah banyak dihabiskan membangun jaringan, menarik dan membentangkan kabel, seolah sia-sia karena layanan telepon tetap ini seolah-olah tak begitu diurus.

Konflik kepentingan semacam ini karena dua layanan komunikasi serupa dijual oleh perusahaan yang sama, tentulah akan sulit dihindari.

Padahal pangsa pasar telepon tetap masih sangat besar. Meski tentu tak akan secepat perkembangan layanan seluler, sesungguhnya layanan telepon rumahan tetaplah dibutuhkan.

Inovasi vendor dan manufaktur handset telepon tetap — dengan menyediakan produk handset tanpa kabel (cordless phone) — setidaknya bisa menambah jumlah pelanggan setia layanan ini. Menurut studi Badan Telekomunikasi Dunia, setiap peningkatan satu persen penetrasi layanan ini diyakini mampu memicu pertimbangan ekonomi sebesar tiga persen.

Cordless merupakan handset yang bisa meningkatkan fungsi sambungan telepon tetap di rumah maupun di kantor. Satu nomor telepon bisa dibagi ke beberapa cordless handset, sehingga setiap panggilan yang masuk bisa dengan cepat diteruskan kepada penerima sasarannya.

Hebatnya lagi, fungsi dan desain cordless saat ini bukan lagi sekadar pesawat telepon biasa yang gagangnya bisa dibawa-bawa di dalam ruangan rumah atau kantor. Tapi kini fungsi dan tongkrongannya sudah benar-benar mirip ponsel. Bisa kirim SMS, menyetel alarm, hingga mengirim MMS.

Harganya pun sekarang sudah mulai bersaing. Apalagi setelah pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan RI No. 18/PMK.010.2005 tentang pembebasan bea masuk cordless phone.

“Jelas, harga cordless phone akan turun. Sebagai contoh, ada yang harga per unitnya di bawah Rp500 ribu. Ini akan menjadi daya tarik bagi pelanggan telepon tetap,” ujar Ketua Asosiasi Perusahaan Nasional Telekomunikasi (Apnatel) Rahardjo Tjakraningrat dalam konferensi persnya, Jumat (18/3) lalu di Jakarta.

Selain itu cordless akan membuat pelanggan telepon tetap bisa meningkatkan aktifitas komunikasinya. Mereka tidak perlu lagi berlari-lari dari satu ruangan ke ruangan yang lain hanya karena ada telepon masuk. Artinya, akan menghemat energi dan waktu.

Operator juga akan diuntungkan. Tingkat gagal sambung akan bisa diminimalisir karena si penerima akan segera mengangkat telepon yang masuk. Telepon yang tidak diangkat, secara teknis, akan merugikan operator.

Mudah-mudahan saja inovasi vendor handset telepon tetap ini diiringi oleh keseriusan operator dalam menjual layanan telepon rumahan. “Telepon tetap tidak akan mati,” ujar Farid Manan, Country Manager PT Dian Graha Elektrika-Siemens Indonesia.

Biarlah waktu yang akan bicara. –Koran Tempo, 20/03/2005

Kecepatan prosesor. Memori. Kapasitas hard disk drive. “Kita telah sampai pada suatu titik ketika komponen-komponen tersebut tidak lagi menjadi nilai tambah di mata pengguna komputer pada umumnya,” ujar seorang praktisi teknologi informasi di Jakarta pekan lalu.

Itulah sebabnya, menurut Soeparwan Soeleman, Country Manager Personal Computing Division IBM Indonesia, mengapa pihaknya mengembangkan sebuah strategi baru yang memberikan nilai yang lebih tinggi bagi pengguna.

“Produk IBM masa kini bukan sekadar komputer pribadi, tetapi merupakan suatu alat yang dapat membuat pengguna lebih efisien dan produktif dalam menjalankan bisnisnya,” ujar Soeparwan saat peluncuran notebook IBM ThinkPad T43 dan R52.

Strategi baru ini, dia melanjutkan, jelas ditujukan untuk menghadapi tantangan bisnis yang rumit dengan menghadirkan teknologi yang lebih mudah digunakan, lebih intuitif, dan aman.

Aman? Di sinilah poinnya. Setiap pengguna perangkat teknologi yang digunakan dalam beraktivitas dan bisnis pasti menginginkan segala sesuatunya berjalan lancar, tidak ada gangguan, bahkan lebih-lebih lagi, tidak ada yang hilang.

Jadi apa, sih sesungguhnya yang selalu ingin kita selamatkan di komputer kita? Software-nyakah atau data yang tersimpan di komputer? Aplikasi, program, ataukah semua dokumen yang ada di dalamnya?

Kalau saya pribadi cenderung menganggap data yang lebih penting diselamatkan ketimbang, katakanlah, software aplikasi tertentu. Pasalnya, jika suatu ketika komputer atau notebook kita mengalami crash, kena virus, atau disusupi hacker, peranti lunak yang rusak, toh masih bisa dibeli lagi, kemudian diinstal. Semuanya beres.

Persoalannya, bagaimana dengan data yang hilang? Bagaimana dengan dokumen-dokumen Word, presentasi, spreadsheet, foto, grafik, atau bahkan address book yang ada di aplikasi e-mail? Mohon maaf, jika ikut hilang juga, semua itu tak mungkin dibeli–mau dibeli di mana?

Padahal, yang namanya data, adalah sesuatu yang sangat berharga. Sekilas, dokumen-dokumen digital yang berusia satu, dua, atau lima tahun lalu tidak berharga. Orang yang menganggap ini tidak penting pastilah sudah menyingkirkannya dari hard-disk drive–bahkan menghapusnya sambil siul-siul!

Namun, bagi orang yang paham nilai sebuah data–entah dengan cara apa semua itu nantinya akan dimanfaatkan–“tak ada yang tak penting”. Berita pers, kliping berita, newsletter, surat elektronik dari kolega bisnis, foto dokumentasi, bahkan “sekadar daftar” alamat URL dan e-mail adalah sesuatu yang sulit dinilai dengan uang.

Manajemen data yang bagus sesungguhnya bisa menciptakan peluang dan ide baru. Sebaliknya, manajemen data yang buruk bisa membuat seseorang kehilangan peluang!

Lalu bagaimana cara mengelola data dengan baik? Bagi kalangan bisnis, pilihan perangkat teknologi yang tepat, aman, praktis dengan solusi storage yang makin leluasa tentulah menjadi suatu keharusan. Untuk ini, tersedia banyak pilihan: IBM, HP, Dell, atau Toshiba–sekadar menyebut beberapa buah nama.

Bagi pengguna pribadi, semua itu bisa dimulai dari pengelolaan data di komputer pribadi dengan baik. Jangan main hapus saja. Pemilahan penempatan data dengan kategori yang tepat akan membantu mereka untuk memulai sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai apresiasi yang tinggi terhadap data.

Jangan lupa, solusi back-up murah meriah di Internet sebaiknya jangan sampai disia-siakan. Storage gratis macam Yahoo Briefcase mengapa tidak Anda manfaatkan untuk menyimpan dan menata data penting Anda? Atau memanfaatkan kapasitas e-mail raksasa macam Gmail juga sebuah pilihan yang cerdas.

Terserah apa pun yang akan Anda pilih, tapi ingatlah suatu hal: data adalah “harta karun” digital yang bisa membantu Anda suatu ketika. Siapa tahu data juga bisa mengubah hidup Anda. –Koran Tempo, 27/03/2005

Memahami E-Konsumen

26, August, 2005

KONSUMEN adalah raja dan ketika Internet berkembang serta mengubah banyak hal, konsumen makin menjadi raja. Raja Diraja. Berkuasa penuh.

Ketika konsumen merasa tak puas dengan sebuah produk dengan mudah ia pindah ke produk substitusi lainnya. Semuanya berlangsung cepat. Dalam kasus ini, mekanisme pasar berlaku sepenuhnya.

Dalam sebuah bukunya, Patricia Moore dan William Moore, dua orang konsultan bisnis, ditekankan bahwa konsumen merupakan fokus utama perusahaan dan urat nadi operasi perusahaan.

Bagaimana memahami dan memenuhi harapan-harapan konsumen menjadi hal paling krusial untuk mempertahankan sebuah aktivitas bisnis. Manajemen hubungan konsumen yang tepat adalah strateginya.

Meski ide-ide yang ada di baliknya tidaklah baru, manajemen hubungan konsumen alias customer relationship management (CRM) telah menjadi sesuatu yang baru selama beberapa tahun terakhir.

Apalagi dengan datangnya teknologi yang lebih baru, terutama munculnya
Internet. Semakin banyak gagasan yang sebelumnya dianggap mahal dan mustahil diterapkan tiba-tiba menjadi dapat dicapai dan terbentang di depan mata.

Patricia mencontohkan, pelaksanaan CRM pada grup hotel internasional, Marriott. Hotel ini membuat para konsumennya dapat melihat sendiri biaya penginapannya sewaktu akan meninggalkan hotel dan kemungkinan mendapatkan kamar secara online pada saat itu juga, lalu memesannya.

Fasilitas semacam itu dapat memberikan layanan yang lebih baik kepada konsumen yang lebih suka menelepon. Hal itu tidak hanya dapat menghemat biaya transaksi, tapi pihak hotel menemukan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan angka hunian kamar dengan membuat konsumennya memesan kamar pada menit-menit terakhir batas waktu.

Contoh lainnya, perusahaan penerbangan berbiaya rendah semacam Ryanair,
Easyjet, Go!, dan Buzz memberi konsumennya akses langsung melalui Internet. Orang bisa memesan tiket secara online yang kemudian terketik dalam mesin printer konsumen.

Dengan mengidentifikasi konsumen tetap, perusahaan-perusahaan penerbangan itu dapat menawarkan harga-harga yang ditetapkan kepada individu-individu dan mendorong mereka memanfaatkan lebih banyak penerbangan untuk menikmati penghematan lebih banyak.

Ketika mengetikkan Go! bahkan langsung tercetak undangan dari Direktur
Eksekutifnya, Barbara Cassino. Dalam majalah penerbangannya, pihak
airline bahkan mengajak para penumpang agar secara langsung mengirimkan e-mail mengenai pengalaman selama terbang. Ia bahkan meyakinkan bahwa siapa pun pengirimnya akan menerima balasannya!

Di Indonesia, sebetulnya juga sudah ada satu-dua penerbangan yang bisa dipesan secara online. Saya sudah mencoba keduanya, tapi terus terang, tak satu pun yang mampu mendatangkan kenyamanan seperti yang dibayangkan.

Selain memang penggarapan manajemen online-nya yang masih biasa-biasa saja, kendala infrastruktur membuat kita terkadang frustrasi melakukan pemesanan tiket virtual semacam ini. Lelet dan ribet.

Teknologinya memang sudah sama, tapi hasilnya masih jauh dari harapan.
Masih ada sederet contoh lain. Sebut saja ketika mengajukan komplain
layanan telepon seluler. Ketika kita menghubungi call center, yang hampir selalu didapatkan adalah bahwa kita harus antre cukup lama. Kalaupun tersambung, komplain kita belum tentu terjawab dengan baik.

Konsumen sendiri tidak peduli mengapa hal itu sampai terjadi. Apakah
perusahaan tersebut sudah menerapkan CRM atau tidak, sudah menggunakan
software CRM yang tepat atau tidak, dan konsumen tidak mau tahu.

Yang mereka inginkan adalah bagaimana semua urusan berlangsung dengan cepat dan nyaman. Ingat, yang namanya raja selalu ingin dilayani bukan sebaliknya.
Jadi, seriuslah sedikit. –Koran Tempo, 03/04/2005