Pemerintah akan meninjau ulang izin awal telepon tetap nirkabel (fixed wireless access alias FWA) yang diberikan kepada operator telepon berbasis code division multiple access (CDMA). Berarti operator yang dimaksud: Telkom (Flexi), Bakrie Telecom (esia) dan Indosat (StarOne). Mobile-8 (Fren), yang meskipun menggunakan teknologi yang sama, tapi lisensinya sebagai operator seluler (sebagai operator seluler GSM), tentu tidak masuk dalam daftar yang akan ditinjau.

Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil, peninjauan kembali izin awal itu lantaran ada indikasi operator CDMA telah mengubah telepon tetap menjadi seluler. Bahkan, kata dia, operator telah mengakali aturan perizinan dengan memanfaatkan teknologi. Ia mencontohkan, saat pergi ke Bandung, konsumen diberi nomor telepon tetap nirkabel Bandung. Begitu pula saat ke Surabaya, konsumen akan diberi nomor Surabaya. “Kami sedang memikirkan bagaimana mekanisme fixed wireless,” kata Sofyan kepada wartawan di Jakarta.

Namun, ia mengakui pemerintah belum bisa mencabut izin awal operator CDMA yang mengubah telepon tetap nirkabel menjadi seluler. “Secara hukum belum bisa,” ujarnya. (pramono). Koran Tempo, Selasa 4 Juli 2006

Indonesia memang satu-satunya negara yang operator FWA-nya menjual layanan seluler. Sejatinya, lisensi FWA yang mengandalkan teknologi CDMA2000 1x, diperuntukkan untuk menggantikan fixed-phone di daerah-daerah yang sulit yang tidak mungkin dibangun jaringan kabel PSTN-nya. Jadi, dengan tujuan dan skema ini, pastilah operator FWA beroperasi di daerah pedesaan, pegunungan dan pedalaman.

Lain halnya dengan Indonesia. Sejak awal, ketika lisensi FWA diberikan kepada Telkom, pasar pertama dan utamanya justru kota metropolitan Jakarta. Benda dengan handset operator FWA yang ada di pedalaman India atau Afrika (handset rumahan), handset yang ditawarkan Telkom Flexi adalah handset yang benar-benar mobile dan sudah setara ponsel seluler GSM. Layanan yang ditawarkan pun tak ubahnya seperti seluler. Dengan demikian, layanan FWA di Indonesia benar-benar sudah jadi layanan seluler.

Nah, kalau baru sekarang, pemerintah mau menertibkan ini, apakah tidak terlambat? Apanya yang mau ditinjau ulang? Kenapa hal ini tidak diatur sejak awal? Apakah semua handset pengguna Flexi, Esia dan StarOne mau ditarik dan diganti dengan handset rumahan? Apakah operator-operator FWA akan diminta hanya menawarkan layanan panggilan dan SMS, dan melarang layanan unduh nada dering, games, wallpaper dan seterusnya yang merupakan layanan seluler? [G!]

Hak Menonton Piala Dunia

27, June, 2006

BAGI pemirsa televisi di sebagian wilayah Indonesia, terutama di kawasan perkotaan, menyaksikan Piala Dunia 2006 jelas bukan soal. Meskipun hanya disiarkan oleh satu stasiun televisi, semua partai pertandingan bisa dinikmati dengan mudah-sepanjang ada niat dan mau begadang.

Tapi ada sebagian masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di pedesaan, pedalaman, atau pegunungan, tidak bisa menyaksikannya. Meskipun mereka punya receiver dan parabola, mendadak siaran SCTV-pemegang hak siar Piala Dunia 2006-tidak bisa mereka nikmati. Padahal hari-hari biasa, SCTV adalah salah satu siaran televisi nasional yang bisa mereka tonton melalui akses parabola.

Pemirsa pedesaan dapat menyaksikan hitungan mundur sejak 365 hari sebelumnya. Tetapi pada hari H, tayangan Piala Dunia dari stasiun ini tak bisa dinikmati karena diacak. “Jadi buat apa hitungan mundurnya dipromosikan secara nasional?” protes seorang pemirsa yang kesal.

Apalagi, jika tetap ingin nonton Piala Dunia, pemirsa harus membeli sebuah receiver baru yang harganya Rp 2 jutaan–yang jika pesta bola berakhir, fungsinya sama dengan penerima parabola biasa.

Tapi haruskah mereka melewatkan perhelatan dunia empat tahunan hanya karena hak siar yang menurut mereka amat aneh itu? Situasi semacam itu ternyata belum menjadi “kiamat bola” bagi orang-orang yang tinggal di pedesaan dan pedalaman. Situasi krisis melahirkan kreativitas.

Salah satu contohnya: Desa Situjuah Batua, Kabupaten Limopuluah Koto, 130 kilometer dari Padang, ibu kota Sumatera Barat. Warganya tetap bisa begadang menikmati tayangan Piala Dunia lewat fasilitas parabola. Hanya saja yang mereka nikmati bukan SCTV yang jelas-jelas diacak, tapi LTV alias televisi Thailand!

Di desa yang terletak di pinggang Gunung Sago itu, pemirsanya justru akrab dengan tayangan dan iklan televisi asing tersebut.

Lalu bagaimana mereka mendapatkan siaran televisi Thailand? Gampang. Pasalnya, televisi tersebut tidak mengacak siaran langsung Piala Dunia. Beberapa anak muda bahkan berhasil mendapatkan kode transponder yang diperlukan. Lalu melakukan roadshow ke rumah-rumah atau lapau-lapau (warung) membantu mengubah setelan di penerima siaran parabola.

Salah seorang dari mereka menyodorkan secarik kertas kepada saya. Isinya: Trans frequency = 03806.00 MHz; Symbol rate = 03.034 M.Baud; Polarisasi = vertikal, Mech. Pol = V; 12 v = off dan LNB Frequency = 05150 MHz.

Hasilnya, siaran langsung Piala Dunia di depan mata! Tanpa perlu mengganti parabola dan hanya memasukkan kode tertentu melalui remote control, semuanya jadi beres.

Suatu malam saya menyempatkan diri nonton di salah satu lapau. Salah seorang dari mereka saya tanya, bagaimana halnya dengan komentator (sebelum dan di sela pertandingan) yang menggunakan bahasa Thailand, yang tentu tidak bisa mereka pahami?

Jawabannya agak mengejutkan sekaligus menggelikan saya: “Apa bedanya, Pak. Komentator orang Indonesia toh juga sering bikin pusing. Prediksinya meleset melulu. Jadi mending yang bahasanya tidak dimengerti sekalian. Kita tak perlu mengumpat-umpat, kan? Tambah dosa aja!”

Terus-terang saya terkagum-kagum melihat fenomena ini. Ternyata, bagi orang-orang seperti di daerah ini, menonton Piala Dunia adalah hak asasi yang tak bisa dikebiri hanya oleh hak monopolistik yang terjadi saat ini.

Monopoli hak siar adalah salah satu contoh praktek dalam politik globalisasi yang ternyata bisa dilawan dengan logika globalisasi juga: bukankah banyak televisi asing yang bisa ditangkap dengan mudah dan ternyata hampir tak ada dari mereka yang mengacak siaran langsung untuk momentum sekaliber Piala Dunia? * Budi Putra

Koran Tempo, Selasa 27 Juni 2006 | Kolom

logo_tagline_sm.gifRANAH Internet memang identik dengan kejutan-kejutan baru. Salah satu kejutan yang terjadi tempo hari muncul dari blogosfer: ketika sebuah nama, YouTube, tiba-tiba muncul dan melesat di jagat Internet.

YouTube, situs video yang dibuat oleh Chad Hurley dan Steve Chen pada Februari 2005. Kemunculannya memicu “demam” video blog atau vlog.

Big Boys lainnya tentulah kebakaran jenggot. Tidaklah mengherankan pekan lalu Yahoo juga meluncurkan situs serupa, yaitu Yahoo Video.

Di YouTube, pengunjung dapat menemukan potongan klip video, game, pidato politik, perjalanan, hingga film kartun atau video apapun yang diunggah (diupload) ke sana.

Sebagai “anak kemarin sore” YouTube memang mencengangkan. Jumlah traffic di situs tersebut dilaporkan mencapai lebih dari 30 juta per hari dan menempati urutan ke-25 situs paling ramai di Internet. Posisi YouTube bahkan berada di atas America Online (AOL), Skype, dan IMDB. Tidak kurang dari 30 ribu video diunggah para vlogger setiap hari.

YouTube kini mampu menarik 43 persen pengunjung situs video di Internet, disusul MySpace Video di urutan kedua dengan 24 persen pengunjung. Google Video, MSN Video, dan America Online Video yang masing-masing hanya dilirik kurang dari 10 persen pengunjung situs video. [G!]