Google, Sahabat Baru Sejarawan

10, September, 2006

Google memang telah menjadi mesin pencari yang bisa menelisik apa saja, termasuk arsip-arsip ratusan tahun yang lalu.

Ibarat berjalan di sebuah lorong mesin waktu, kita bisa dengan mudah menemukan dan membaca surat kabar-surat kabar dari masa lalu di layar komputer kita.

Koran Tempo pada Jumat lalu melaporkan sebuah berita terbitan Washington Post berjudul “Jakarta Awaits Guest”, yang bersumber dari kantor berita Associated Press pada 23 Februari 1959, yang bisa ditemukan di layanan ini.

Sehari sebelumnya, Jakarta memang dilaporkan menyambut kedatangan tamu penting, yaitu Presiden Vietnam Utara Ho Chi Minh, yang berkunjung selama 10 hari atas undangan Presiden Soekarno.

Ya, Anda tak perlu repot-repot datang ke Perpustakaan Nasional lalu menyediakan waktu khusus buat mengubek-ubek arsip berupa lembaran surat kabar lusuh ataupun mikrofilm. Anda cukup mengklik pranala hasil pencarian Google News.

Hanya dengan membayar sejumlah uang, kita bisa membaca versi lengkap arsip lawas itu. Arsip Washington Post bisa dinikmati dengan bayaran per tayang, sedangkan The New York Times mengenakan biaya US$ 4,95 per artikel.

Layanan yang disebut Google News Archive Search ini kebanyakan arsipnya berasal dari surat kabar dan majalah.

Indeks arsip dikaitkan Google dengan indeks pencarian web umum yang sudah ada. Untuk memperkaya hasil pencarian, Google membangun pranala dengan pihak penerbit dan news aggregator yang telah diajak bekerja sama.

Ada belasan penerbit yang sudah menjadi mitra, di antaranya BBC News, Time Magazine, Guardian, Washington Post Archives, Newspaper Archive, dan New York Times Archives.

Yang paling girang dengan fenomena ini tentulah kalangan peneliti, khususnya dari kalangan sejarawan.

Memang, Google News Archive Search yang diluncurkan dengan antarmuka bahasa Inggris-Amerika ini tak ubahnya seperti harta karun yang sudah siap “diterkam”.

Berterima kasihlah pada penemu Internet. Jaringan pintar ini memang telah menganugerahkan kita kemudahan-kemudahan yang tiada tara. Menyimak koran dan majalah dari masa lalu, misalnya.

Budi Putra
Koran Tempo, Minggu, 10 September 2006 | e-culture

Ketika Para Menteri Ngeblog

4, September, 2006

Akhir pekan lalu, blogosfer Indonesia ketiban berita bagus: satu lagi pejabat menteri Indonesia meluncurkan weblog-nya. Menteri Negara Perumahan Rakyat Yusuf Asy’ari mengumumkan kantor barunya di http://yusufasyari.com.

Ini adalah blog kedua dari anggota kabinet di Indonesia setelah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono merilis blog-nya di http://juwonosudarsono.com beberapa pekan lalu.

Ditulis dalam dua bahasa, bahasa Indonesia dan Inggris, blog Menteri Asy’ari sudah punya dua posting baru. Pertama soal ibundanya yang baru saja meninggal dunia dan satu lagi soal kebijakan mengenai perumahan rakyat.

Sebuah manuver yang patut dihargai mengingat dewasa ini blog sudah menjadi media yang efektif bagi berbagai kalangan, termasuk bagi penyelenggara negara dalam berkomunikasi dengan rakyatnya.

Meskipun peluncuran blog Juwono tempo hari tidak begitu mendapat sambutan di media-media utama (media cetak dan elektronik), lain halnya dengan blogosfer–ranah blog Indonesia ataupun dunia.

Meskipun orang Indonesia sejatinya sudah punya blog sejak peranti lunak online diary itu dilahirkan, tetap saja munculnya blog Juwono seolah-olah menjadi “gong” resmi masuknya Indonesia ke blogosfer.

Kegembiraan dan antusiasme yang sama juga dirayakan ketika akhir pekan lalu Menteri Yusuf Asy’ari meluncurkan blog-nya. Para blogger langsung mewartakan kabar tersebut.

Presiden RI sendiri sebenarnya sudah memiliki kantor virtual di http://www.presidensby.info dan Wakil Presiden di http://www.setwapres.go.id, tapi kedua situs itu belum menggunakan peranti lunak blog.

Pasalnya, blog dianggap lebih unggul karena lebih praktis, interaktif, mudah dideteksi dan dilacak kembali, serta gampang dikelola. Di sinilah keunggulan blog dibanding situs web generasi “jadoel”.

Kehadiran blog bahkan telah mengubah arah dan jalannya bisnis teknologi informasi saat ini. Sukses Technorati, Digg, dan del.icio.us membuktikan bahwa blog telah memicu revolusi baru dalam abad digital ini.

Karena itu, ketika ada menteri Indonesia yang sudah memanfaatkan teknologi baru ini, tidak ada kata selain harus diacungi jempol.

Selamat bergabung di blogosfer, Pak Menteri!***

Budi Putra
Koran Tempo, 3 September 2006 | e-culture

keepmedia3.jpg

Pengguna Internet yang suka berlangganan majalah online sering menemukan fakta bahwa tak semua isi penerbitan yang dilangganani sesuai dengan kebutuhan mereka.

Terkadang mereka hanya membaca artikel tertentu dan membiarkan artikel atau sajian lain terlewatkan begitu saja. Padahal mereka sudah membayar mahal.

Untuk mengatasi masalah semacam ini, KeepMedia Inc., sebuah perusahaan online yang berbasis di Redwood Shores, California, Amerika Serikat, menawarkan solusi jitu: menyediakan ribuan artikel surat kabar dan majalah terkemuka yang bisa diakses dengan mudah.

Inilah cara paling irit berlangganan 500 ribu artikel dari 200 media online sekaligus.

Hanya dengan membayar Rp 50 ribu per bulan lewat situsnya di www.keepmedia.com, seorang pelanggan bisa mengakses artikel-artikel terbaru, seperti Newsweek, Esquire, BusinessWeek, USA Today, Forbes, PC Magazine, eWeek, hingga kantor berita AFP.

Tidak perlu memeriksa daftar isi sebagaimana lazimnya berlangganan majalah digital, lewat situs ini Anda cukup mencari artikel-artikel yang diinginkan dari berbagai media melalui menu pencarian yang disediakan.

Semua menu di situs ini bisa dipersonalisasi sesuai dengan selera. Pelanggan bisa menyortir isi situs berdasarkan kategori, seperti olahraga, keuangan, teknologi, sains, kesehatan, tokoh, dan dunia.

Untuk menelusuri artikel-artikel yang diminati, pengguna bisa menggunakan peranti pelacak dan pendeteksi otomatis.

KeepMedia akan mengirimkan berita-berita relevan terbaru begitu topik tersebut sudah dipublikasikan.

Hebatnya lagi, artikel-artikel tersebut boleh Anda bagi kepada kolega-kolega lewat surat elektronik–kolega Anda tak perlu bayar untuk mengaksesnya, tentu.

Jangan lupa, simpanlah artikel-artikel favorit Anda di panel yang disediakan agar bisa diakses secara cepat kapan pun.

Ini akan menjadi pustaka digital pribadi ketika koleksinya hanya terdiri atas artikel-artikel yang Anda sukai dan butuhkan.

Budi Putra

Koran Tempo, Minggu 6 Agustus 2006 | e-culture

Setidaknya dibutuhkan waktu enam jam mengendarai mobil untuk mencapai Desa Buay Bahuga, Kabupaten Way Kanan, dari Kota Tanjung Karang, Provinsi Lampung.

Hampir separuh perjalanan harus dilewati dengan menempuh jalan sempit, berlubang, turun-naik, dan penuh tanjakan.

Di kanan-kiri jalan, kita bisa melihat betapa desa-desa di sepanjang jalan ini adalah desa-desa tertinggal.

Sebagian besar penduduknya mengandalkan sumber mata pencarian dari pertanian padi dan sawit. Sebagiannya lagi berdagang.

Melihat betapa terpencilnya kawasan ini, sungguh tak terbayangkan kalau di sebuah sekolah menengah umum di Desa Bahuga, kita dapat menikmati akses Internet pita lebar dengan throughput hingga 700 kilobita per detik!

Meskipun belum ada jaringan Telkom di sini, kita tetap bisa berkomunikasi dengan dunia luar menggunakan telepon nirkabel. Ya, wireless world sudah sampai di desa ini!

Semua itu dimungkinkan dengan pemanfaatan teknologi CDMA450 plus versi layanan generasi ketiga (3G) dengan 1xEV-DO-nya.

Setelah menggelar inisiatif Wireless Reach di kawasan pedesaan di Pacitan, Jawa Timur, pada April lalu, Qualcomm kembali meluncurkan program inisiatif Wireless Reach di Way Kanan, Lampung, 21 Juli lalu.

Bekerja sama dengan Sampoerna Telekom, Axesstel Inc., IndoNet, Departemen Komunikasi dan Informatika, serta Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Qualcomm memperkenalkan teknologi nirkabel CDMA di frekuensi 450 MHz di Way Kanan, yang memberikan akses layanan berpita lebar nirkabel untuk suara dan data.

Program ini diawali dengan pembangunan laboratorium komputer yang dilengkapi oleh akses Internet di lima sekolah yang berada di Kabupaten Way Kanan, yaitu di Buay Bahuga, Negeri Besar, Negara Batin, Rebang Tangkas, dan Pakuan Ratu.

Selain itu, warung seluler juga sedang dibangun di 59 desa dan 5 sekolah menengah untuk menyediakan akses telekomunikasi yang lebih baik.

Sementara itu, di kota seperti di Jakarta, pengguna layanan bergerak saat ini baru bisa sebatas ngobrol soal 3G–baik WCDMA maupun 1xEV-DO. Tapi di sini, di desa terpencil ini, kenikmatan akses Internet berpita lebar berbasis 3G sudah bisa dinikmati dan bukan lagi sekadar wacana. Bravo!

Budi Putra

Koran Tempo, 30 Juli 2006 | e-culture

Mencokok Blog dengan Tag

17, July, 2006

tag.jpg

Bagaimana supaya weblog atau blog Anda bisa ditemukan orang dengan mudah? Manfaatkan dan kelola tag dengan baik!

Apa itu tag? Ini adalah semacam kata kunci yang ditaruh sebagai kategori dalam blog.

Jika blog Anda menggunakan peranti lunak WordPress (www.wordpress.com), Anda bisa dengan mudah membuat tag atau kategori untuk setiap posting terbaru Anda.

Sementara bagi pengguna peranti lunak blog lainnya, pada umumnya secara manual harus menyertakan kode tertentu yang diperuntukkan sebagai tag sewaktu membuat dan mengirim posting terbaru.

Terlepas jika blog Anda menggunakan bahasa Indonesia, sebaiknya kategori dibuat dalam bahasa Inggris, misalnya Politics, News, People, Media, Business, dan seterusnya.

Jangan buat kategori yang aneh-aneh–yang akan membuat hanya Anda yang akan menemukan blog Anda. Cobalah pelajari kategori-kategori yang populer saat ini di www.technorati.com/tag dan www.wordpress.com/tags.

Kategori-kategori ini bukan sekadar metode bagaimana memilah topik yang akan ditampilkan di blog. Manfaatnya jauh lebih dahsyat: kategori ini memudahkan orang menemukan blog Anda.

Mesin pencari blog terkenal, Technorati, mengandalkan tag untuk menyajikan posting blog teranyar secara real time. WordPress juga menampilkan galeri tag yang populer di situsnya.

Jadi pengakses cukup berkunjung ke Technorati atau WordPress, lalu memilih salah satu tag, misalnya World Cup, maka akan muncul posting terbaru dari berbagai blog mengenai kategori tersebut.

Karena itu, buat dan kelolalah kategori di blog Anda dengan baik. Jangan pelit mencontreng kategori yang sesuai dengan posting Anda: bisa saja satu posting terbaru bersinggungan dengan lima hingga delapan tag sekaligus.

Di jagat blog–atau sering disebut blogosfer–Anda memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk mengekspresikan diri dan dikenal secara luas.

Selain dengan memilih dan membuat entry yang menarik, anyar, atau mungkin saja unik dan langka, masih ada satu syarat lagi yang akan membuat blog Anda bisa dicokok di mana-mana: tag.

Budi Putra

Koran Tempo, 16 Oktober 2006 | e-culture

Menggagas Mobilitas

9, July, 2006

Betulkah di masa datang ke kantor tidak diperlukan lagi? Betulkah pertemuan secara fisik antarkaryawan akan semakin berkurang?

Beberapa tahun terakhir sejumlah perusahaan besar memang sudah mulai mengakomodasi konsep mobilitas ketika karyawannya tidak selalu harus datang ke kantor.

Tapi tentu tidak semua karyawan memiliki jenis tugas yang sama. Misalnya ada karyawan yang lebih banyak mengurusi pekerjaan kantoran–tentu tidak bisa disamakan dengan mereka yang mobile.

Lalu bagaimana mengakomodasi keduanya? IBM, sebagai contoh, menawarkan solusi menarik. Perusahaan teknologi informasi terkemuka ini menawarkan dua opsi: memilih jadi karyawan bergerak (mobile employee) atau karyawan yang bisa bekerja jarak jauh (telecommuting).

Sistem ini diterapkan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi. Karena itu, setiap karyawan akan dibekali dengan komputer notebook yang komplet dan perusahaan menyediakan infrastrukturnya.

Pilihan pertama ditawarkan kepada karyawan yang karena tugasnya lebih sering bertemu dengan pelanggan dan klien di lapangan.

Pilihan kedua ditujukan kepada karyawan kantoran yang tetap bisa mengerjakan tugasnya di rumah pada waktu-waktu tertentu.

Keuntungannya jelas: karyawan bisa fleksibel mengatur waktunya, intensitas pertemuan dengan pelanggan bisa lebih tinggi, dan tugas-tugas yang dikerjakan di rumah bisa cepat selesai.

Perusahaan sendiri akan mendapati para karyawannya yang produktif dan termotivasi. Belum lagi penghematan dari segi operasional dan ruang kantor.

Memang, bagi perusahaan yang sudah maju, output jauh lebih penting ketimbang proses yang panjang dan kaku.

Di perusahaan-perusahaan konvensional, mengisi absen di kantor masih menjadi kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar.

Bahkan karyawan yang sering di lapangan tetap harus tergopoh-gopoh menembus macet serta deru dan debu hanya karena diwajibkan datang ke kantor.

Apalagi diperparah pula oleh budaya perusahaan yang masih konservatif: sang bos akan naik pitam jika tidak melihat bawahannya nongol di kantor.

Mulai memikirkan bagaimana merancang format bekerja jarak jauh bagi karyawan, jauh lebih penting ketimbang menghabiskan waktu dan tenaga menyelidiki absensi karyawan.

Budi Putra
Koran Tempo, 9 Juli 2006 | e-culture

Pemerintah akan meninjau ulang izin awal telepon tetap nirkabel (fixed wireless access alias FWA) yang diberikan kepada operator telepon berbasis code division multiple access (CDMA). Berarti operator yang dimaksud: Telkom (Flexi), Bakrie Telecom (esia) dan Indosat (StarOne). Mobile-8 (Fren), yang meskipun menggunakan teknologi yang sama, tapi lisensinya sebagai operator seluler (sebagai operator seluler GSM), tentu tidak masuk dalam daftar yang akan ditinjau.

Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil, peninjauan kembali izin awal itu lantaran ada indikasi operator CDMA telah mengubah telepon tetap menjadi seluler. Bahkan, kata dia, operator telah mengakali aturan perizinan dengan memanfaatkan teknologi. Ia mencontohkan, saat pergi ke Bandung, konsumen diberi nomor telepon tetap nirkabel Bandung. Begitu pula saat ke Surabaya, konsumen akan diberi nomor Surabaya. “Kami sedang memikirkan bagaimana mekanisme fixed wireless,” kata Sofyan kepada wartawan di Jakarta.

Namun, ia mengakui pemerintah belum bisa mencabut izin awal operator CDMA yang mengubah telepon tetap nirkabel menjadi seluler. “Secara hukum belum bisa,” ujarnya. (pramono). Koran Tempo, Selasa 4 Juli 2006

Indonesia memang satu-satunya negara yang operator FWA-nya menjual layanan seluler. Sejatinya, lisensi FWA yang mengandalkan teknologi CDMA2000 1x, diperuntukkan untuk menggantikan fixed-phone di daerah-daerah yang sulit yang tidak mungkin dibangun jaringan kabel PSTN-nya. Jadi, dengan tujuan dan skema ini, pastilah operator FWA beroperasi di daerah pedesaan, pegunungan dan pedalaman.

Lain halnya dengan Indonesia. Sejak awal, ketika lisensi FWA diberikan kepada Telkom, pasar pertama dan utamanya justru kota metropolitan Jakarta. Benda dengan handset operator FWA yang ada di pedalaman India atau Afrika (handset rumahan), handset yang ditawarkan Telkom Flexi adalah handset yang benar-benar mobile dan sudah setara ponsel seluler GSM. Layanan yang ditawarkan pun tak ubahnya seperti seluler. Dengan demikian, layanan FWA di Indonesia benar-benar sudah jadi layanan seluler.

Nah, kalau baru sekarang, pemerintah mau menertibkan ini, apakah tidak terlambat? Apanya yang mau ditinjau ulang? Kenapa hal ini tidak diatur sejak awal? Apakah semua handset pengguna Flexi, Esia dan StarOne mau ditarik dan diganti dengan handset rumahan? Apakah operator-operator FWA akan diminta hanya menawarkan layanan panggilan dan SMS, dan melarang layanan unduh nada dering, games, wallpaper dan seterusnya yang merupakan layanan seluler? [G!]

Menelepon dengan Jari

3, July, 2006

ilustrasi-wristwatch-metamorfosis-ponsel-nttdocomo-co-jp.jpg
Buang headset telepon seluler Anda. Bahkan Anda juga tak perlu sebuah handset. Cukup tempelkan jari ke telinga: dengarlah atau bicaralah dengan orang yang menelepon Anda.

Itulah teknologi ponsel terbaru rancangan NTT DoCoMo, Jepang, yang dinamai Finger Whisper Phone. Pada awalnya prototipe telepon ini dipakai di pergelangan tangan seperti arloji. Namun, pada versi mutakhir seperti yang dipamerkan di ajang CommunicAsia, Singapura tempo hari, alat itu mengecil hingga sebesar cincin (Koran Tempo, 1 Juli 2006).

Media Computing Laboratory, pusat penelitian dan pengembangan DoCoMo, berhasil mengembangkan sebuah prototipe ponsel yang menggunakan anggota tubuh penggunanya sebagai media transmisi suara.

Ponsel ini menggunakan pergelangan tangan sebagai sarana mengkonversi gelombang suara digital menjadi vibrasi melalui tulang pergelangan tangan.

Hasilnya bisa didengar dengan cara mendekatkan jari ke telinga. Jari telunjuk dan jempol yang disentuhkan akan berfungsi sebagai tombol on/off untuk menerima atau mengakhiri panggilan telepon.

Transmisi suara melalui tulang dianggap lebih baik ketimbang melalui udara. Kualitas suara teknologi telepon bergerak terbaru itu diharapkan jauh lebih bagus ketimbang ponsel tradisional: tetap nyaman saat menerima panggilan di tengah kebisingan.

Selain berfungsi mengirim suara melalui pergelangan tangan dan jari ke telinga, metode itu mengkonversi suara pengguna yang dikirim balik melalui jari dan pergelangan tangan, kemudian ditangkap oleh mikrofon di ponsel yang disulap menjadi sebentuk arloji.

Ponsel itu memang sengaja dirancang sepraktis mungkin. Karena berukuran sangat mungil, agar tidak ribet, ponsel itu didesain tak memiliki keypad. Untuk membuat panggilan, pengguna hanya perlu mengucapkan nomor tujuan.

Jadi tibalah saatnya handset diganti dengan fingerset.

Selain orisinal, seperti diungkapkan analis Amanda Akien, ponsel–arloji dan ponsel–cincin ala Negeri Sakura itu itu merupakan “Konsep eksentrik lain yang pernah disumbangkan Jepang untuk Planet ini, setelah sumo, karaoke, sushi, dan geisha“.

Moshi moshi!

Budi Putra
Koran Tempo, 2 Juli 2006 | e-culture

Hak Menonton Piala Dunia

27, June, 2006

BAGI pemirsa televisi di sebagian wilayah Indonesia, terutama di kawasan perkotaan, menyaksikan Piala Dunia 2006 jelas bukan soal. Meskipun hanya disiarkan oleh satu stasiun televisi, semua partai pertandingan bisa dinikmati dengan mudah-sepanjang ada niat dan mau begadang.

Tapi ada sebagian masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di pedesaan, pedalaman, atau pegunungan, tidak bisa menyaksikannya. Meskipun mereka punya receiver dan parabola, mendadak siaran SCTV-pemegang hak siar Piala Dunia 2006-tidak bisa mereka nikmati. Padahal hari-hari biasa, SCTV adalah salah satu siaran televisi nasional yang bisa mereka tonton melalui akses parabola.

Pemirsa pedesaan dapat menyaksikan hitungan mundur sejak 365 hari sebelumnya. Tetapi pada hari H, tayangan Piala Dunia dari stasiun ini tak bisa dinikmati karena diacak. “Jadi buat apa hitungan mundurnya dipromosikan secara nasional?” protes seorang pemirsa yang kesal.

Apalagi, jika tetap ingin nonton Piala Dunia, pemirsa harus membeli sebuah receiver baru yang harganya Rp 2 jutaan–yang jika pesta bola berakhir, fungsinya sama dengan penerima parabola biasa.

Tapi haruskah mereka melewatkan perhelatan dunia empat tahunan hanya karena hak siar yang menurut mereka amat aneh itu? Situasi semacam itu ternyata belum menjadi “kiamat bola” bagi orang-orang yang tinggal di pedesaan dan pedalaman. Situasi krisis melahirkan kreativitas.

Salah satu contohnya: Desa Situjuah Batua, Kabupaten Limopuluah Koto, 130 kilometer dari Padang, ibu kota Sumatera Barat. Warganya tetap bisa begadang menikmati tayangan Piala Dunia lewat fasilitas parabola. Hanya saja yang mereka nikmati bukan SCTV yang jelas-jelas diacak, tapi LTV alias televisi Thailand!

Di desa yang terletak di pinggang Gunung Sago itu, pemirsanya justru akrab dengan tayangan dan iklan televisi asing tersebut.

Lalu bagaimana mereka mendapatkan siaran televisi Thailand? Gampang. Pasalnya, televisi tersebut tidak mengacak siaran langsung Piala Dunia. Beberapa anak muda bahkan berhasil mendapatkan kode transponder yang diperlukan. Lalu melakukan roadshow ke rumah-rumah atau lapau-lapau (warung) membantu mengubah setelan di penerima siaran parabola.

Salah seorang dari mereka menyodorkan secarik kertas kepada saya. Isinya: Trans frequency = 03806.00 MHz; Symbol rate = 03.034 M.Baud; Polarisasi = vertikal, Mech. Pol = V; 12 v = off dan LNB Frequency = 05150 MHz.

Hasilnya, siaran langsung Piala Dunia di depan mata! Tanpa perlu mengganti parabola dan hanya memasukkan kode tertentu melalui remote control, semuanya jadi beres.

Suatu malam saya menyempatkan diri nonton di salah satu lapau. Salah seorang dari mereka saya tanya, bagaimana halnya dengan komentator (sebelum dan di sela pertandingan) yang menggunakan bahasa Thailand, yang tentu tidak bisa mereka pahami?

Jawabannya agak mengejutkan sekaligus menggelikan saya: “Apa bedanya, Pak. Komentator orang Indonesia toh juga sering bikin pusing. Prediksinya meleset melulu. Jadi mending yang bahasanya tidak dimengerti sekalian. Kita tak perlu mengumpat-umpat, kan? Tambah dosa aja!”

Terus-terang saya terkagum-kagum melihat fenomena ini. Ternyata, bagi orang-orang seperti di daerah ini, menonton Piala Dunia adalah hak asasi yang tak bisa dikebiri hanya oleh hak monopolistik yang terjadi saat ini.

Monopoli hak siar adalah salah satu contoh praktek dalam politik globalisasi yang ternyata bisa dilawan dengan logika globalisasi juga: bukankah banyak televisi asing yang bisa ditangkap dengan mudah dan ternyata hampir tak ada dari mereka yang mengacak siaran langsung untuk momentum sekaliber Piala Dunia? * Budi Putra

Koran Tempo, Selasa 27 Juni 2006 | Kolom

Kemarin, putaran 16 besar Piala Dunia 2006 dimulai. Perhatian kita mulai terfokus pada tim-tim yang berjuang keras untuk maju ke babak berikutnya.

Siapa yang Anda jagokan? Tim mana pun favorit Anda, teruslah mengikuti perkembangannya lewat berbagai media: televisi, surat kabar, dan tentu saja Internet.

Nah, di Internet, Anda bisa memilih dan memilah sumber-sumber berita yang Anda perlukan. Pasalnya, di sini tersedia sekian banyak pilihan: mulai situs berita, portal, hingga blog yang bejibun banyaknya.

Blog? Media online berbasis web yang interaktif dan impresif itu dewasa ini makin digemari. Berawal hanya berupa catatan harian online pribadi, kini blog sudah merambah hampir seluruh lini: mulai sekadar catatan harian, kini blog sudah menjelma menjadi semacam media online profesional hingga blog korporat dan bisnis.

Karena itu, di antara ratusan situs berita yang gencar menginformasikan perhelatan Piala Dunia 2006, terselip blog yang juga mengabarkan informasi serupa.

Saya lebih sering melongok blog Piala Dunia 2006 ini dengan satu alasan: media ini memiliki dan menampilkan pendekatan yang khas dan spesifik. Tema dan entry-nya khas dan lebih berbasis pada komentar-komentar penonton perhelatan empat tahunan itu dan para pengakses blog sendiri.

Hebatnya lagi, sebagian besar blog ini diperbarui secara harian sehingga aktual dan baru. Memang belum secepat media-media mainstream, seperti kantor berita, surat kabar, dan situs berita, tapi karena peruntukan dan tujuannya berbeda, soal ini tidak terlalu mendesak untuk dipersoalkan.

Untuk yang berbahasa Inggris, saya sering menyambangi http://worldcupblog.org, sedangkan untuk yang berbahasa Indonesia saya suka http://jerman2006.wordpress.com yang cukup lengkap dan aktual.

Sebetulnya masih ada blog lain yang berbahasa Indonesia, yakni http://blogworldcup2006.blogspot.com dan http://pialadunia2006.blogspot.com. Tapi sayang, tidak senantiasa diperbarui.

Oh ya, mumpung kita lagi demam Jerman karena negara itu sedang menjadi tuan rumah, tak ada salahnya mencoba belajar Bahasa Jerman di blog http://syams.wordpress.com. Lumayan, bisa untuk mempelajari dasar-dasar dan istilah-istilah pentingnya.

Koran Tempo, 25 Juni 2006 | e-culture