Kamus dalam Sebatang Flash
23, July, 2006
Penerbit Franklin Electronic Publishers Inc melepas kamus bahasa Inggris yang berisi 300 ribu definisi kata serta 500 ribu sinonim dan antonim dari kamus Merriam-Webster dan Franklin Thesaurus. Namun, bukan berupa buku, melainkan berupa USB flash drive berkapasitas 256 megabita. USB flash drive ini hanya salah satu perangkat digital yang dikembangkan Franklin. Toko online-nya juga menjual sebuah kamus elektronik yang dilengkapi dengan pemutar MP3.
Secuil kecil batang flash drive ini siap dicolokkan ke PC untuk memberikan aplikasi-aplikasi yang agak berbeda dengan kamus online, seperti petunjuk tata bahasa, pengecek ejaan, pembanding dua kata yang memiliki pengucapan mirip, dan pencari jawaban puzzle.
Namun, peluncuran kamus berbentuk flash drive ini bisa dianggap terlambat. Mungkin berguna kalau muncul 15 tahun silam, tulis Gizmodo. Soalnya, di era saat ini, setiap aplikasi pengolah kata di komputer telah menyediakan pengecek ejaan.
Untungnya, Franklin juga memikirkan hal ini. Makanya, selain kamus, flash drive ini dilengkapi toko e-book dan fitur Newsstand, yang memungkinkan pengguna mencari buku serta majalah dan, jika dapat, lalu membelinya secara online. Link [G!]
Hak Menonton Piala Dunia
27, June, 2006
BAGI pemirsa televisi di sebagian wilayah Indonesia, terutama di kawasan perkotaan, menyaksikan Piala Dunia 2006 jelas bukan soal. Meskipun hanya disiarkan oleh satu stasiun televisi, semua partai pertandingan bisa dinikmati dengan mudah-sepanjang ada niat dan mau begadang.
Tapi ada sebagian masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di pedesaan, pedalaman, atau pegunungan, tidak bisa menyaksikannya. Meskipun mereka punya receiver dan parabola, mendadak siaran SCTV-pemegang hak siar Piala Dunia 2006-tidak bisa mereka nikmati. Padahal hari-hari biasa, SCTV adalah salah satu siaran televisi nasional yang bisa mereka tonton melalui akses parabola.
Pemirsa pedesaan dapat menyaksikan hitungan mundur sejak 365 hari sebelumnya. Tetapi pada hari H, tayangan Piala Dunia dari stasiun ini tak bisa dinikmati karena diacak. “Jadi buat apa hitungan mundurnya dipromosikan secara nasional?” protes seorang pemirsa yang kesal.
Apalagi, jika tetap ingin nonton Piala Dunia, pemirsa harus membeli sebuah receiver baru yang harganya Rp 2 jutaan–yang jika pesta bola berakhir, fungsinya sama dengan penerima parabola biasa.
Tapi haruskah mereka melewatkan perhelatan dunia empat tahunan hanya karena hak siar yang menurut mereka amat aneh itu? Situasi semacam itu ternyata belum menjadi “kiamat bola” bagi orang-orang yang tinggal di pedesaan dan pedalaman. Situasi krisis melahirkan kreativitas.
Salah satu contohnya: Desa Situjuah Batua, Kabupaten Limopuluah Koto, 130 kilometer dari Padang, ibu kota Sumatera Barat. Warganya tetap bisa begadang menikmati tayangan Piala Dunia lewat fasilitas parabola. Hanya saja yang mereka nikmati bukan SCTV yang jelas-jelas diacak, tapi LTV alias televisi Thailand!
Di desa yang terletak di pinggang Gunung Sago itu, pemirsanya justru akrab dengan tayangan dan iklan televisi asing tersebut.
Lalu bagaimana mereka mendapatkan siaran televisi Thailand? Gampang. Pasalnya, televisi tersebut tidak mengacak siaran langsung Piala Dunia. Beberapa anak muda bahkan berhasil mendapatkan kode transponder yang diperlukan. Lalu melakukan roadshow ke rumah-rumah atau lapau-lapau (warung) membantu mengubah setelan di penerima siaran parabola.
Salah seorang dari mereka menyodorkan secarik kertas kepada saya. Isinya: Trans frequency = 03806.00 MHz; Symbol rate = 03.034 M.Baud; Polarisasi = vertikal, Mech. Pol = V; 12 v = off dan LNB Frequency = 05150 MHz.
Hasilnya, siaran langsung Piala Dunia di depan mata! Tanpa perlu mengganti parabola dan hanya memasukkan kode tertentu melalui remote control, semuanya jadi beres.
Suatu malam saya menyempatkan diri nonton di salah satu lapau. Salah seorang dari mereka saya tanya, bagaimana halnya dengan komentator (sebelum dan di sela pertandingan) yang menggunakan bahasa Thailand, yang tentu tidak bisa mereka pahami?
Jawabannya agak mengejutkan sekaligus menggelikan saya: “Apa bedanya, Pak. Komentator orang Indonesia toh juga sering bikin pusing. Prediksinya meleset melulu. Jadi mending yang bahasanya tidak dimengerti sekalian. Kita tak perlu mengumpat-umpat, kan? Tambah dosa aja!”
Terus-terang saya terkagum-kagum melihat fenomena ini. Ternyata, bagi orang-orang seperti di daerah ini, menonton Piala Dunia adalah hak asasi yang tak bisa dikebiri hanya oleh hak monopolistik yang terjadi saat ini.
Monopoli hak siar adalah salah satu contoh praktek dalam politik globalisasi yang ternyata bisa dilawan dengan logika globalisasi juga: bukankah banyak televisi asing yang bisa ditangkap dengan mudah dan ternyata hampir tak ada dari mereka yang mengacak siaran langsung untuk momentum sekaliber Piala Dunia? * Budi Putra
Koran Tempo, Selasa 27 Juni 2006 | Kolom
HP Tempati Posisi Teratas Kategori Server
23, February, 2006
Hewlett Packard kembali menempati posisi No.1 untuk server berbasis Windows, Linux dan high-end UNIX dari sisi pendapatan pada kwartal terakhir 2005. Dari data IDC yang dirilis hari ini untuk kuartal ke empat 2005, terlihat bahwa selama 15 kuartal berturut-turut, HP telah melampaui berbagai vendor utama dalam pasar server, sekaligus pula membukukan pangsa terbesar dari total pendapatan di kategori server.
HP juga memimpin untuk gabungan ketiga sistem operasi utama (Windows, Linux dan UNIX) yang terdiri dari lebih 95 persen total server yang dikapalkan ke seluruh dunia dan 78,7 persen dari total pendapatan server.
Sebagai tambahan, HP menunjukkan pertumbuhan pendapatan sepanjang tahun 2005 untuk server x86 (hingga 16,1 persen) dan server berbasis Intel Itanium 2 (EPIC) (hingga 75 persen).
“Angka-angka ini menunjukkan mantapnya kinerja kami pada kuartal empat lalu dan nilai yang kami sampaikan pada para pelanggan dari keseluruhan portofolio server,” ujar Mark Hudson, Wakil Presiden Pemasaran, Enterprise Storage dan Server HP.
U3 Smart Drive, Benar-benar Cerdas
22, February, 2006
Intel dalam Ranah Digital Kita
15, January, 2006
JIKA sistem operasi adalah ibarat roh atau nyawa sebuah komputer, prosesor adalah sistem metabolismenya.
Dalam sejarah kontemporer teknologi informasi, nama Intel sebagai sebuah produk prosesor tentu sudah sangat akrab dengan kita. Hampir semua PC di dunia ini memiliki logo “Intel Inside” berwarna biru dengan aksen lingkaran yang khas.
Selain memproduksi prosesor, Intel Corporation membuat chipset dan peranti lunak. Kini Intel tidak ingin sekadar prosesornya ada di dalam setiap komputer, tapi ingin menjadi pemimpin semua platform yang dibutuhkan untuk teknologi digital masa depan.
Ambisi itu dimulai dengan memperkenalkan citra baru mereka pada awal bulan ini. Dari Santa Clara, California, Amerika Serikat, Intel Corporation mengumumkan identitas merek baru yang semakin mempertegas evolusi Intel menjadi sebuah perusahaan solusi platform yang mendorong pasar.
Intel terus mendorong perubahan mendasar yang dimulai dengan pengembangan platform teknologi mobile Intel Centrino. Tahun lalu Intel melakukan reorganisasi atas dasar model platform, sementara sekarang memfokuskan pada empat peluang segmen pasar utama: teknologi bergerak, rumah digital, enterprise, dan kesehatan.
Intel juga telah mengumumkan rencana peluncuran platform baru rumah digital–yang disebut teknologi Intel Viiv–pada awal 2006.
Identitas merek baru tersebut termasuk perubahan pada logo Intel Inside yang dibuat pada 1991, dan logo Intel dengan huruf “e” yang posisinya lebih turun, yang dibuat oleh pelopor Lembah Silikon Robert Noyce dan Gordon Moore 37 tahun yang lalu ketika mereka membangun perusahaan “integrated electronics”.
Menurut Budi Wahyu Jati, Country Manager Intel Indonesia Corporation, logo baru ini tidak hanya mengabungkan esensi dari kedua simbol kuat yang berbasis warisan Intel yang kaya, tapi juga menandai arah baru perusahaan.
Yang juga baru adalah tagline: “Intel. Leap Ahead”. Intel Corporation memang dengan sadar sedang merancang sejarah masa depan ranah digital kita. (Koran Tempo, 15/1/2005)
Bernaung di Rumah Digital
28, August, 2005
“SELAMAT datang di rumah masa depan,” sambut robot yang bertugas sebagai protokoler begitu tamu memasuki rumah. “Apa pun kebutuhan Anda, segera komunikasikan dengan jaringan yang ada di rumah ini. Semoga kunjungan Anda menyenangkan.”
Desain interior rumah istimewa ini merupakan paduan karakter rumah tradisional Jepang yang diperkaya dengan aksen-aksen futuristik.
Di rumah itu terdapat sebuah kamar khusus berukuran 4 x 3 meter yang berfungsi sebagai ruang kontak. Di sini seorang anggota keluarga bisa berkomunikasi secara virtual dengan anggota keluarga yang sedang berada di luar di depan layar LCD (liquid crystal display), yang berfungsi menampilkan wajah lawan bicara.
Di seberang ruang keluarga, yang dilengkapi tempat duduk melingkar ala teater yang sedikit lebih tinggi dari lantai, terdapat sebuah meja keluarga multifungsi.
Yang menarik adalah permukaan meja metalik ini. Terbuat dari bahan kristal yang dilengkapi LCD, tampilan grafis di atas meja itu menunjukkan identitas dan posisi setiap anggota keluarga.
Dengan menggunakan remote control virtual, sang ibu bisa meminta kurir digital yang khusus ditugaskan jadi asistennya. Misalnya, si ibu bisa meminta sang kurir jadi penasihat liburan akhir pekannya.
“Sumimasen — maaf, Nyonya,” terdengar suara penasihat digital, “mau libur ke mana?” Si ibu menjawab Hawaii. Dalam orde detik, di layar muncul sejumlah pilihan jadwal penerbangan, akomodasi, dan jenis makanan yang diinginkan.
Si ibu segera menetapkan pilihannya dan seketika kurir digital langsung mereservasi tiket dan akomodasinya secara online. “Semuanya beres, Nyonya. Tapi masih ada satu masalah lagi. Paspor nyonya akan kedaluwarsa dua pekan lagi, jadi saya akan segera memperpanjangnya.”
Rumah masa depan atau disebut home information infrastructure (HII) itu terdapat di Living Plaza, Lantai 4, Panasonic Center, Tokyo, Jepang, yang saya kunjungi beberapa waktu lalu.
Pekan ini rumah digital kembali jadi pembicaraan. Dari arena Intel Developer Forum di San Francisco terbetik kabar bahwa Intel Corporation akan memperkenalkan teknologi Intel Viiv yang didesain untuk rumah digital.
Dukungan teknologi semacam ini tentu akan mendorong produksi dan rancang rumah digital secara luas.
Sepertinya rumah digital bukan lagi impian atau hanya sekadar prototipe buat dipamerkan. Siapa yang tertarik, sudah bisa membuat ancang-ancangnya dari sekarang. — Koran Tempo, 28/08/2005