Gadget Baru: Mylo

10, August, 2006

sony_mylo.jpg

Wahai para gadgetter, ada kabar baru nih: Sony meluncurkan gadget Wi-Fi untuk pengguna yang tak mau putus dengan Internet.

Gadget yang seukuran PlayStation Portable (PSP) itu diberi nama Mylo, kependekan dari My Life Online. Sony berharap, dengan makin maraknya jaringan nirkabel (wireless fidelity/Wi-Fi) di kampus-kampus, ruang publik, dan di dalam rumah, Mylo menjadi pilihan bagi mereka yang tak bisa terputus dengan Internet, asal terdapat akses Wi-Fi 802.11b.

Mylo diperkirakan mulai tersedia hanya di toko online Sony Amerika Serikat, September mendatang. Harga jualnya sekitar US$ 350 (sekitar Rp 3,2 juta). Menurut analis pasar, ini merupakan produk pertama dari jenis ini yang menggunakan jaringan nirkabel Wi-Fi. Mylo bukan ponsel, dan tak dikenai biaya langganan bulanan. Kalau ingin membuat panggilan telepon, mesti menggunakan fitur telepon via Internet (voice over Internet protocol).

Begitu juga jika mau berkirim surat elektronik pakai saja e-mail yang berbasis web. Tentu saja tidak bisa mendukung program e-mail perusahaan. Memang Mylo disasarkan Sony untuk pasar orang muda berusia 18-24 tahun.

Untuk memberi fitur-fitur komunikasi berbasis Internet yang andal, Sony bermitra dengan Yahoo Inc. dan Google untuk layanan pesan instan. Juga dalam penjajakan kerja sama dengan Time Warner Inc., penyedia pesan instan terkemuka America Online. Untuk layanan telepon via Internet, Sony menggandeng eBay Inc., pemilik layanan VoIP Skype.

Mylo tak sekadar personal communicator, tapi juga pemutar media. Ia dapat memainkan musik digital (format MP3, ATRAC, dan WMA). Selain itu, ia dapat menyimpan serta menayangkan foto (JPEG) dan video (MPEG 4) yang ada di memori flash berkapasitas satu gigabitanya atau kartu Memory Stick yang dijual terpisah. Layar Mylo berupa layar kristal cair berwarna dengan resolusi 320 x 240 piksel dan berukuran diagonal 2,4 inci.

[G!]

Nokia BH-800 Bluetooth Headset

14, February, 2006

egadget-nokia_bluetooth.jpg

Inilah headset Bluetooth Nokia yang berbentuk persegi panjang: Nokia BH-800 Bluetooth Headset. Ringan. Dibuat untuk seluruh ponsel Nokia, perkakas telinga ini memiliki pengendali volume dan akan memberikan Anda 160 jam waktu siaga atau dua jam bicara. Didukung oleh standar Bluetooth 2.0, Handsfree 1.5 dan Headset 1.1. Tersedia dalam warna hitam atau putih, dan dibanderol seharga US$140. Tertarik?

Yang ditakuti pemain online game bukan monster seribu nyawa, melainkan koneksi internet yang tiba-tiba down.

BEKERJA sepuluh jam sehari di sebuah lembaga keuangan investasi di Seoul, Korea Selatan, tak membuat Yoon Dae-won kelelahan. Setiap malam, ia masih sempat bergabung dengan sejawatnya di kafe internet dan bermain Lineage: The Blood Pledge hingga subuh. Tapi itu belum cukup juga. Setiap hari, dalam perjalanannya dari rumah ke kantor, dengan telepon seluler ia masih melanjutkan petualangan berburu monster itu. “Jika saya tak berhasil membunuhnya, pasti akan terbawa mimpi,” ujarnya.

Lelaki berusia 25 tahun itu memang terobsesi oleh online game. Tapi ia tak sendiri. Dari 3,2 juta pengguna aktif Lineage di dunia selama satu bulan, 2,2 juta di antaranya berasal dari Korea Selatan. Meluasnya permainan ini di Negeri Ginseng didukung oleh infrastruktur teknologi informasinya, yang menggunakan koneksi pita lebar (broadband).

Permainan online kolosal atau massively multiplayer online role-playing game (MMORPG) seperti Lineage memang membutuhkan koneksi internet yang cepat dan stabil. Jika tidak, pasti berantakan. Yang ditakuti pemain ternyata bukan monster raksasa seribu nyawa, melainkan koneksi internet yang tiba-tiba melambat atau bahkan down. “Permainan yang terhenti tiba-tiba jauh lebih buruk daripada mati tertembak dalam sebuah permainan,” ujar Nora Achirati, seorang analis permainan digital.

Sebegitu parahkah permainan online ini? Dari sisi teknis memang masih terbentur masalah, tapi dari sisi prospek tak ada yang meragukan. Meskipun jagat game saat ini masih dikuasai permainan offline yang menggunakan komputer lokal ataupun play-station, masa depan permainan online diyakini sangat cerah. Pusat riset DFC Intelligence memperkirakan 114 juta orang akan bermain online game pada 2006, jauh lebih banyak dibanding sekitar 50 juta orang yang memainkannya saat ini.

Apalagi, prinsip permainan jenis ini, yang massal, serentak, dan interaktif, sangat menggoda. “Siapa sih yang tidak tertantang bermain dengan lawan-lawan dari berbagai negara?” kata Eddy Lim, pendiri komunitas Indonesian Gamer.

Di Asia, selain Korea Selatan, permainan ini juga diminati di Jepang, Cina, dan negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Menurut majalah Level, permainan digitl ini sudah mulai digemari di Tanah Air, ditandai dengan populernya Redmoon. Selain itu, portal online game pertama di Indonesia, Bolehgame.com, baru saja meluncurkan versi beta, Laghaim. Sebelumnya komunitas ini sudah merilis Nexia, PamPam Game, dan GunBound.

Masih menganganya pasar online game membuat Sony Corp., produsen video game dengan angka penjualan tahun lalu mencapai US$ 56,9 miliar, langsung mencari jurus baru. Bekerja sama dengan IBM, produsen komputer dengan pendapatan US$ 85,9 miliar (2001), dan Butterfly.net Corp, Sony segera memperkenalkan jaringan online game (online game grid). Jaringan yang bisa menggunakan koneksi broadband, dial-up, ataupun telepon seluler ini memungkinkan lebih dari sejuta pengguna PlayStation 2 bisa bermain secara bersamaan di internet.

Selama ini pemain terbagi ke dalam berbagai server (penyedia jasa), dan jumlah pemain dibatasi. Jumlah pemain yang berlebih (overloaded) akan membuat server jadi down dan permainan terhenti. Tapi, dengan jaringan ala Sony, interaksi server-nya diperkuat dengan infrastruktur game yang gesit: server dapat ditambah atau diganti, tanpa harus mengganggu atau menghentikan permainan sama sekali.

Tentu ini kabar baik yang sudah lama ditunggu-tunggu para pecandu game, karena mereka bisa bermain tanpa sekat dan tenggat. “Inilah surga bagi para gamer,” kata Nora.

Jaringan yang dijalankan dengan IBM Dual Xeon Blade Servers–bisa dijalankan dengan Linux, WebSphere, dan DB2–ini dibangun dengan gugusan server yang menggunakan protokol Globus. Selain  PlayStation 2, teknologi ini juga bisa melayani WindowsPC/Xbox, LinuxPC, Mac OSX, PocketPC, dan Palm.

Eddy yakin, berbagai game baru yang sedang dirancang pasti akan menyesuaikan diri dengan teknologi grid. Proyek semacam ini, menurut dia, sudah berada pada aras yang benar. “Online game memang masa depan pemain dan kreator game,” ujarnya kepada TEMPO.

Ya, kenapa tidak?

Budi Putra

TEMPO Edisi 030323-003/Hal. 60      Rubrik Teknologi Informasi

“Mereka bukan manusia, tapi saya senang bermain dengannya,” demikian slogan di sebuah situs game online. Dalam ranah multimedia dewasa ini, manusia sepertinya menemukan sahabat-sahabat baru. Bersama mereka, manusia bisa saling bermain, berdialog, bahkan saling adu-strategi dan bertempur — suatu aktivitas yang sangat alami dan sangat dekat dengan kehidupan manusia.

Sahabat baru itu bernama game, suatu media virtual yang mewadahi penggunanya untuk bermain dan adu strategi untuk dapat memecahkan suatu persoalan dan memenangkan tantangan yang disajikan di dalamnya. Secara teknis, permainan ini dapat dinikmati dengan menggunakan komputer, televisi dan bahkan di ponsel.

Apa itu “permainan game”? Dalam pengertian yang luas permainan game berarti “hiburan”. Permainan game juga merujuk pada pengertian sebagai “kelincahan intelektual” (intellectual playability). Sementara kata “game” bisa diartikan sebagai arena keputusan dan aksi pemainnya. Ada target-target yang ingin dicapai pemainnya. Kelincahan intelektual, pada tingkat tertentu, merupakan ukuran sejauh mana game itu menarik untuk dimainkan secara maksimal.

Menurut Alan Shiu Ho Kwan (2000), setidaknya ada enam faktor yang melatari seseorang bermain games: adanya tawaran kebebasan, keberagaman pilihan, daya tarik elemen-elemen gam, antarmuka (interface), tantangan dan aksesibilitasnya.

Sejalan dengan makin membanjirnya para penggemar game ini, teknologi piranti lunak untuk permainan ini pun berkembang kian pesat. Dari sekadar video game berbasis PC atau TV yang dimainkan sendiri atau secara bersama (multiplayer) di sebuah medium yang sama, kini mulai bergerak menuju permainan yang terhubung secara online. Artinya, seorang pemain (player) akan bisa adu strategi dan ketrampilan dengan sejumlah pemain lain yang berada di belahan dunia yang lain. Keberadaan internetlah yang memungkinkan hal itu terjadi.

Tak salah lagi, game online akhirnya merupakan masa depan bagi para kreator game. Meskipun jalan menuju ke sana masih menemui kendala, terutama disebabkan oleh kemampuan teknologi yang belum maksimal, game online tetap menyimpan banyak harapan. Sony, Nintendo dan Microsoft misalnya, baru saja mengumumkan ambisi mereka untuk merancang suatu game interaktif — sesuatu yang sudah diprediksi banyak pakar sejak peluncuran Ultima Online tahun 1997.

Selain itu, permainan games online yang melibatkan tim-tim international maju selangkah lagi ketika Sony Online dan NCSoft bergandengan tangan dalam mengusung EverQuest ke Asia. Jelas, ini akan menggerakkan potensi multikultural dunia yang akan saling tersambung dalam suatu permainan universal dengan pilihan yang beragam.

Didasarkan pada waralaba Ultima yang kiprahnya cukup bagus, Ultima Online adalah genre game pertama yang sukses secara komersial. Sejak saat itu, segelintir game online — Everquest dan Lineage pengecualian utamanya – mulai mendatangkan keuntungan. Game online diperkirakan akan mampu mendongkrak keuntungan melampaui prestasi games tradisional berbasis CD yang mampu meraup US$ 6,5 miliar per tahun

Sony mengungkapkan bahwa 70 persen pengguna gamenya menantang pemain lain secara online, sementara hanya empat persen yang bermain sendiri di komputernya. Berita buruknya: 60 persen penggemar game tidak mau membayar biaya tambahan untuk bermain game online. “Teknologi online adalah revolusi lanjutan video game dan itu secara fundamental akan mentransformasikan permainan game menjadi bentuk-bentuk hubungan sosial,” ujar J. Allard, GM Xbox.

Potensi multikultural yang ada di bumi ini menjadi magnit dalam menghubungkan jutaan penggemar game untuk saling “berkomunikasi” dengan cara mereka sendiri, yakni dengan “bertarung” lewat game.

Bagaimanapun, pertarungan lewat game jauh lebih positif, konstruktif dan berbudaya, ketimbang misalnya invasi Amerika Serikat ke Afganistan yang menewaskan ratusan jiwa dan menunjukkan kemunduran bagi peradaban

Koran Tempo 22/Jul/2002 e-culture