Satu minggu setelah serangan terhadap World Trade Center di jantung kota New York, perusahaan-perusahaan yang menyewa kantor di gedung menara kembar itu mulai membenahi bisnisnya. Selain merenggutkan sekitar 3000 nyawa para karyawan, pengunjung dan fisik gedung pencakar langit itu, musibah Black September juga menghanguskan komputer beserta perniknya dengan kerugian sekitar US$ 500 juta.

Tapi ada satu hal yang bisa diselamatkan dari musibah 11 September 2001: data-data elektronik. Mereka tampaknya belajar banyak dari pengalaman setelah peristiwa pemboman WTC 1993. Serangan yang menewaskan enam orang dan melukai lebih 1000 orang itu mendorong perusahaan-perusahaan di sana menyiapkan diri menghadapi kemungkinan bencana di masa datang. Mereka melakukan investasi cukup besar dalam penyimpanan data (data storage) dan jasa penyelamatan informasi-informasi elektronik.

Perusahaan-perusahaan yang berkantor di sana – para broker, perusahaan asuransi dan keuangan – memang sudah habis-habisan dalam memanfaatkan kemampuan teknologi informasi (TI) dalam menjalankan bisnisnya. Logikanya jelas: ketika kertas-kertas dokumen beterbangan dan hancur dilalap api, hampir sebagian besar data-data elektronik berhasil diselamatkan. Tim Teknologi Morgan Stanley malah menggambarkan WTC sebagai “mungkin satu-satunya fasilitas kantor yang benar-benar disiapkan dari sebuah sistem dan perspektif penyelamatan data.”

Umumnya perusahaan-perusahaan menggunakan dua metode dalam mem-back up sistem komputer mereka. Perusahaan kecil cenderung memilih yang berbiaya murah dengan men-download data secara manual ke dalam tapes magnetik, sementara perusahaan-perusahaa besar menggunakan “hot backups” – sebuah layanan yang mengharuskan mereka mengeluarkan dana sekitar 10 hingga 1000 dolar per bulan.

Lebih dari yang pernah dibayangkan sebelumnya, revolusi TI ikut mengubah prilaku masyarakat modern yang mencoba masuk dan menghirup atmosfer sebuah kebudayaan baru: suatu kecenderungan terciptanya “masyarakat tanpa kertas”(paperless society). Pesatnya perkembangan “kotak ajaib” yang bernama komputer memungkinkan terwujudnya era komputerisasi dan solusi teknologi nirkabel.

Revolusi ini tidak lagi menyangkut soal transformasi energi dan benda, tetapi juga menyangkut transformasi waktu dan jarak. Komputer tidak lagi menjadi bagian yang terpisah-pisah dan berdiri sendiri, tetapi sudah saling berkomunikasi melalui jaringan telekomunikasi – yang dewasa ini makin dimungkinkan oleh perkembangan internet yang mengglobal.

Seorang penggemar internet pernah mengajukan pertanyaan kepada Bill Gates: Kapankah akan terwujud suatu masyarakat tanpa kertas? “Kertas sama sekali tidak akan hilang,” jawabnya. “Namun bertahun-tahun mendatang, peran kertas akan menurun tajam baik di kantor maupun di rumah. Dokumen-dokumenlah yang pertama kali akan meninggalkan kertas. Anda akan menggunakan komputer untuk melihat dan membayar tagihan atau mengisi formulir.”

Revolusi terbesar yang terjadi sejak ditemukannya komputer dan Internet adalah kemampuan yang luar biasa dalam penyimpanan data. Kontribusi terbesarnya memang dari sisi ini. Berubahnya dimensi ruang dan waktu sebenarnya sangat mengacu kepada fenomena kecanggihan penyimpanan data ini. Setiap orang bisa menaruh file-filenya di berbagai “rak-rak”, “laci” atau “lemari” digital.

Menyimpan data memang merupakan faktor paling krusial yang mengukuhkan betapa pentingnya komputer atau TI bagi keseharian kita. Perkembagan ini menarik dicermati karena mengisyaratkan adanya gejala menuju ke sebuah metamorfosa yang sama sekali baru. Pada awalnya kita cuma mengenal disket sebagai tempat penyimpanan data kemudian muncul CD dan DVD. Dua yang disebut terakhir adalah konsep paling sederhana dari metode penyimpanan data, karena relatif masih mudah rusak misalnya akibat tergores atau terbakar.

Yang paling canggih adalah metode penyimpanan data di server – yang back-upnya bisa dibuat dalam beberapa versi dan bisa dilindungi dengan sistem keamanan berlapis-lapis. Dengan metode ini orang bisa berkantor secara virtual karena semua dokumen mulai dari proposal proyek, data-data karyawan, surat, kontrak hingga notulen rapat dapat disimpan di situ dan dapat diakses secara online kapan pun dan di mana pun.

Jadi ketika sesuatu terjadi pada kantor kita – terbakar, diobrak-abrik maling atau diserang “teroris”, kita bisa memastikan bahwa data elektroniklah yang relatif bisa diselamatkan.

Koran Tempo, 15/Sep/2002  e-culture

Komputer pun Bisa Dikloning

9, November, 2002

ORANG yang berkeinginan menciptakan komputer pribadi bukan seorang veteran IBM yang menyombongkan fasilitas riset, bukan juga seorang ilmuwan komputer. Dia juga tidak banyak terkait dengan kisah IBM mainframe di masa lalu.

Tapi apa yang dilakukan Lew Eggebrecht lebih terkait dengan pengalamannya bekerja dengan mikroprosesor buatan Intel yang tidak mahal. Dia juga amat antusias menyatukan suku cadang elektronik yang membuat mikroprosesior bisa bekerja. Laki-laki kelahiran Minnesota saat Perang Dunia berkecamuk itu akan bekerja sepanjang malam, tertidur sebentar di mejanya, sampai sistemnya berfungsi seperti yang ia yakini dapat dilakukan. Bergabungnya Eggebrecht dengan IBM menjadi awal hadirnya komputer pribadi dalam sejarah peradaban modern.

Orang Amerika sendiri baru mengetahui apa yang disebut komputer pribadi pada tahun 1983. Bahkan majalah Time menobatkan komputer pribadi sebagai “Man of the Year” waktu itu. Dengan ditemukannya sebuah mesin penjumlah oleh Blaise Pascal, seorang pakar matematika Perancis pada tahun 1742, sejarah baru dunia komputer pun mulai digoreskan.

Mesin ini disempurnakan dan dikembangkan pada pertengahan abad kesembilan belas oleh Charles Babbage yang, pada tahun 1823, telah mengembangkan sebuah “mesin analitik” raksasa yang betul-betul dapat “diprogram”. Karenanya, Babbage dijuluki sebagai “bapak komputer”, meskipun lebih dari seratus tahun kemudian, pada tahun 1948, barulah komputer yang sesungguhnya berhasil dibuat.

Selanjutnya, baru pada tahun 1975 komputer meja, dan komputer pribadi pertama Altair, dikembangkan untuk digunakan di rumah dan di kantor. Bahasa kompuiter yang digunakan untuk mengoperasikan Altair ditulis oleh dua visioner muda yang kelak mengubah wajah bisnis komputer pribadi: Bill Gates dan Paul Allen. Bahasa komputer yang mereka kembangkan adalah sejenis bahasa yang disebut BASIC – Beginners All-Purpose Symbolic Instruction Code. Dengan bahasa komputer ini orang bisa membuat program-program berbeda untuk meminta komputer mengerjakan tugas yang berbeda-beda.

Penemuan komputer inilah yang kemudian merangsang gagasan menciptakan suatu jaringan di mana komputer bisa saling berkomunikasi satu sama lain. Awalnya berupa jaringan lokal terbatas dalam satu ruangan atau gedung saja. Kemudian antar gedung, antar pulau bahkan kini antar benua. Semua itu sangat dimungkinkan oleh ditemukannya jaringan raksasa bernama internet – suatu jaringan pintar yang mampu menghubungkan jutaan manusia dan komputer dari berbagai belahan bumi.

Yang jelas, gagasan untuk terus mengembangkan jaringan komputer makin tak tertahankan. Jika semula pemanfaatan jaringan hanya bertujuan menyimpan berbagai data digital yang bisa diakses dari manapun dan kapanpun, kini muncul gagasan paling mutakhir yang mencoba memaksimalkan komputer-komputer kelas rendah rendah tapi tetap bisa powerful.

Bagaimana caranya? Seorang peneliti komputer Jepang, Kuniyasu Suzaki, punya resep cespleng: dalam suatu jaringan yang disebut Computer Cloning, komputer-komputer yang cuma memiliki spesifikasi rendah, ternyata bisa memiliki kemampuan tinggi dengan memperkuatnya dengan suatu komputer induk yang canggih. Dengan jaringan yang disebutnya NTC (Network Transferable Computer), sistem operasi (OS) komputer induk bahkan dengan mudah dikloning ke komputer-komputer lain yang berada dalam jaringan. Komputer-komputer lain, dalam jaringan ini, hanya berfungsi sebagai “sarang” saja, sementara yang benar-benar komputer hanyalah induknya.

“Instalnya cukup sekali, lalu bekerjalah seolah-olah semua komputer dalam jaringan itu canggih-canggih semua,” demikian Suzaki. NTC memang dapat mewujudkan suatu Computer Teleportation: Anda bisa melanjutkan pekerjaan Anda di komputer kantor ketika bekerja di komputer rumah.

Secara teknis, NTC ini terdiri dari Hibernation Software dan mesin virtual. Software itu akan menjaga komputer tersebut tetap live, sementara mesin virtual digunakan untuk “menggandakan” arsitektur dan memaksimalkan fungsi setiap komputer yang berada dalam jaringan.

Cara kerjanya relatif serderhana: Pertama kali kita harus menginstal software VMWare untuk Linux. Kemudian Linux juga diinstal pada mesin virtual yang disediakan VMWare. Sistem operasi pada mesin virtual yang disebut “guest OS” ini harus diinstal pula pada PC induk yang nanti akan melayani berbagai permintaan – seperti transfer data, penyimpanan atau restorasi file – dari komputer lain.

Gagasan ini akan membuat komputer-komputer yang dianggap sudah ketinggalan zaman masih tetap bisa difungsikan secara maksimal – pengusaha warnet tentunya harus menangkap dan memanfaatkan peluang ini dengan baik.

Jadi komentar pesimis – dan sinis – yang mengatakan teknologi baru akan membuat teknologi lama harus masuk gudang agaknya sudah tak relevan lagi. Teknologi, jika digunakan secara tepat, sesungguhnya akan memudahkan pekerjaan dan meringankan biaya, bukan sebaliknya.

Koran Tempo, 22/Sep/2002  e-culture

PERANG cyber tampaknya tak bisa dihindari, menyusul makin terbelahnya peta kekuatan politik dunia pasca World Trade Center 11 September 2001 di New York.

Meski sudah ada sejak Internet mengglobal, tapi perang di dunia maya ini intensitasnya makin tinggi pasca hancur-luluhnya menara kembar yang menjadi ikon bisnis Amerika Serikat itu.

Cyber adalah medan pertempuran baru menyusul ketegangan politik yang meninggi di alam nyata. Protes-protes masyarakat di kedua belah pihak yang tak tersalurkan akhirnya bermuara pada penyerangan situs-situs web dan sistem komputer “lawan” yang tentu saja juga memancing serangan balasan.

Perlakuan tidak simpatik pemerintah Australia kepada WNI di negara itu menyusul Tragedi Bom Bali yang menewaskan puluhan warga Australia tampaknya mulai membuat jengkel kalangan hacker. Namun sebenarnya, kekesalan lebih dipicu oleh pernyataan-pernyataan pejabat tinggi Australia yang menyerang Indonesia dan seringkali dianggap arogan. Bahkan media massa Indonesia juga dituduh sebagai biang yang mempertegang hubungan Indonesia-Australia.

Senin lalu, seorang hacker Indonesia berinisila TarJO akhirnya melakukan mass defacing (membobol dan mengganti tampilan) puluhan situs internet milik berbagai perusahaan Australia.

Berdasarkan pengecekan Tempo News Room, hingga pukul 10.30 WIB kemarin, enam situs di antaranya belum berhasil dipulihkan dan masih menampilkan pesan-pesan yang dibuat pembobolnya (Tempo Interaktif, 5/11).

Dengan latar belakang warna hitam, dan font warna hijau, di halaman depan situs tersebut tertulis: “Hacked! Whose the real terrorist? We or you? Go to hell Australia!” Situs-situs tersebut adalah thebigcountry.com.au, accommodationbondi.com, actionhirecars.com.au, actionrentals.com.au, australianmusic.net dan superbank.com.au

Situs lainnya yang terkena defacing adalah, adultbank.com.au, atn.com.au yachtcharter.com.au, telebank.com.au dan rac.net.au, ausinternet.com.au, dialabook.com.au, vanandbushire.com.au, seabreezebnb.com.au, duralgardens.com.au, aloha.com.au, avalonrsl.com.au, banknet.com.au, innaustralia.com.au

Dan “gayung pun bersambut”. Tindakan hacker Indonesia itu langsung mendapat balasan dari hacker Australia. Selasa (5/11/2002), situs Satuatap.com dijebol seorang hacker dari Sydney. Situs Satuatap.com yang dimiliki oleh Graha Lumintu di Bekasi di-deface dengan gaya yang sama dengan defacing yang dilakukan oleh TarJO, hacker pelaku mass defacing situs-situs Australia.

Perang cyber ini jelas bukan yang pertama. Kasus insiden udara antara Republik Rakyat Cina (RRC) dengan Amerika Serikat (AS) pada 2001 lalu, misalnya, sempat menyulut perang cyber antar dua negara tersebut. Saling serang antara kelompok hacker RRC dan AS sempat melumpuhkan ribuan situs internet akibat mass defacing.

Indonesia sendiri tercatat dua kali mengalami serangan cyber. Serangan pertama berasal dari hacker RRC dan kelompok Cina perantauan pasca kerusuhan rasial Mei 1998. Serbuan kedua terjadi sebelum dan pasca jajak pendapat di Timor Timur 1999. Seorang hacker Portugis bahkan berhasil membobol 45 situs web Indonesia, termasuk situs Departemen Luar Negeri.

Perang cyber, menurut Jimmy Sproles dan Will Byars dari Computer Ethics Course, bisa dikategorikan sebagai terorisme cyber (cyber-terrorism). Dalam konsep ini orang yang melakukannya bukan lagi dicap sekadar hacktivis, tapi teroris. Yang menjadi sasaran mereka bukan sekadar membobol situs web semata, tapi juga jaringan komputer instalasi militer, pembangkit listrik, pusat kendala lalulintas udara, bank dan jaringan telekomunikasi.

Survei Computer Security Institute (CSI) dan Agen Federal AS (FBI) mencatat, serangan cyber ini tak melulu berwujud serangan virus, seperti dilakukan Code Red tahun 2001 yang menangguk kerugian hingga US$ 2, 6 miliar dan menyebabkan 250 ribu sistem lumpuh hanya dalam tempo 9 jam. Serangan juga berupa pencurian informasi, pembobolan finansial, dan pembajakan.

Tak kurang Amerika Serikat sangat mengkuatirkan fenomena terorisme cyber. Dalam laporan terbarunya, CIA menyatakan, “Serangan-serangan cyber terhadap sistem infrastruktur kita akan terus meningkat menjadi opsi yang strategis bari para teroris.”

Masih menurut laporan itu, sejumlah kelompok-kelompok yang mereka tuduh teroris seperti Al Qaeda dan Hisbullah, sudah makin campin menggunakan teknologi internet dan komputer. FBI sendiri sedang memantau meningkatnya jumlah ancaman-ancaman cyber dewasa ini.

Menurut BBC, sekelompok hacker Islam baru saja menyerang sejumlah situs web milik pemerintah Barat menyusul dukungan negara-negara Eropa itu terhadap rencana AS untuk menyerang Irak (29/10). Sebuah lembaga sekuriti komputer yang berbasis di London, MI2G menyatakan bahwa Oktober 2002 adalah “serangan digital terburuk sejak tahun 1995.” Setidaknya sudah terjadi 16.559 serangan terhadap sistem komputer dan situs web sepanjang bulan Oktober!

Diperkirakan, jumlah total serangan hacker hingga delapan bulan pertama di tahun ini sudah mencapai lebih 31.000 kali – lebih dari total tahun 2001. Serangan digital memang makin marak. Sebuah proyeksi konservatif justru mengungkapkan setidaknya sudah terjadi 45.000 kali serangan di seluruh penjuru dunia sepanjang tahun ini.

IBM Global Security Analysis Lab mencatat, setidaknya ada sekitar 100 ribu hacker di dunia dewasa ini, namun 90% di antara adalah para amatir (cyberjoyriders), 9,9% hacker bayaran (corporate spies) dan hanya 0,1% yang benar penjahat cyber kelas dunia (world-class cybercriminals).

Mendominasinya hacker amatiran memang masuk akal mengingat jalan untuk menjadi hacker, bukan pekerjaan sulit. Asal memiliki akses ke Internet, maka aktivitas memporakporandakan jaringan komputer adalah pekerjaan gampang. Apalagi ratusan situs di Internet memberikan informasi mengenai cara menjadi hacker, sekaligus menyediakan hacker tool.

Di Indonesia sendiri, jumlah hacker tidak bisa dibilang sedikit. Nama-nama seperti Hiddenline atau Medan Hacking bahkan telah menjadi ”ikon” dalam dunia hacker di Indonesia. Sekitar 100 situs berhasil dibobol hacker Indonesia, 90 persen situs luar negeri.

Jika hegemoni kekuasaan-kekuasaan tertentu di dunia tak bisa direm dan wadah untuk penyaluran protes juga tersumbat, perang cyber tampaknya makin tak terhindari. Sebuah model lain perang dunia ketiga?

PROFIL PARA HACKER
Hacker amatir (cyberjoyriders) 90%
Hacker bayaran (corporate spies) 9,9%
Hacker kelas dunia (world-class cybercriminals) 0,1%
Jumlah Hacker: 100.000

Jumlah serangan hacker di dunia
1998 – 269
1999 – 4,197
2000 – 7,821
2001 – 31,322
2002 – 45,000+

Sumber: IBM Global Security Analysis Lab/BBC